Sabtu 28 Oct 2023 16:09 WIB

Fahri Hamzah Bela Gibran: Keponakan JK dan Anak Wapres Ma'ruf Kalah

Apakah hak warga negara harus dipotong karena dia adalah anak pejabat?

Rep: Eva Rianti/ Red: Erik Purnama Putra
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora, Fahri Hamzah.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora, Fahri Hamzah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora, Fahri Hamzah menyampaikan pembelaannya terhadap cawapres yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Gibran Rakabuming Raka mengenai tudingan pelanggengan politik dinasti di Indonesia. Dia heran, karena yang dipersoalkan hanya Gibran semata.

Adapun kandidat lain tidak diungkit-ungkit. "Kalau orang memilih Pak Mahfud, orang memilih Anies, kenapa orang enggak boleh memilih Gibran?" kata Fahri dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk 'Suhu Politik Pasca Putusan MK' secara daring di Jakarta, Sabtu (28/10/2023).

Baca Juga

Fahri tidak setuju dengan adanya istilah 'melanggengkan kekuasaan' dalam sistem demokrasi. Menurut dia, sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia tetap menomorsatukan rakyat sebagai pemilih.

"Apakah hak warga negara harus dipotong karena dia adalah anak pejabat dalam demokrasi yang pada dasarnya nominasi oleh rakyat dan pemilihan oleh rakyat," tutur eks wakil ketua DPR tersebut.

Fahri mencontohkan beberapa keluarga dari pemimpin Indonesia yang tidak terpilih menjadi pejabat publik. Hal itu karena dalam sistem demokrasi, rakyat bebas memilih siapa yang layak untuk menjabat.

"Ada banyak anak-anak pemimpin pada masa lalu yang dikalahkan oleh rakyat. Keponakan Pak JK (di Makassar) kalah sama kotak kosong, anak Ma’ruf Amin di Tangerang (Selatan) dikalahkan. Kan kalah, jadi akhirnya jangan kemudian takut bertarung," ungkapnya.

Untuk mengalihkan tudingan pelanggengan kekuasaan, Fahri balik menuding, sebenarnya kesalahan terjadi akibat adanya kekacauan di kalangan elite dalam berjalnnya sistem demokrasi. Pemilihan Gibran sebagai cawapres pendampingi Prabowo dinilai merupakan dampak dari sistem yang kacau di Indonesia.

"Itu terjadi karena ketidaksempurnaan sistem, akhirnya nyari orang," ucap Fahri. Sistem yang dimaksud, di antaranya mengenai kederisasi di partai politik dan pemberlakuan sistem parliamentary threshold.

Fahri menekankan, pandangan adanya politik dinasti yang disematkan kepada Gibran merupakan penilaian subjektif. "Kalau dibilang Jokowi netral atau tidak, lho lebih tidak netral waktu teman-teman dukung Jokowi periode kedua, dia presiden, dia calonnya," kata Fahri.

"Kalau ini (Gibran) masih berjarak pada orang lain. Yang jadi presiden kan bukan Gibran, presidennya Prabowo, Prabowo partainya lain dari Jokowi, koalisinya juga lain. Jadi enggak bisa pikiran subjektif ini melupakan bahwa fakta dijebak sistem yang jelek," kata Fahri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement