REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Kristen Palestina di Gaza tidak dapat dipisahkan dari sejarah umat Kristen lainnya di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem. Wilayah ini adalah tempat kelahiran agama Kristen dan lokasi banyak peristiwa dalam Kitab Injil Perjanjian Lama dan Baru.
Dilansir Middle East Eye, umat Kristen di Gaza tidak menganggap diri mereka terpisah dari negara Palestina secara luas. Namun demikian, ada sejarah Kristen yang unik dan spesifik di Gaza.
Meskipun terdapat lebih dari seribu orang Kristen yang masih tinggal di Gaza, wilayah tersebut memiliki arti khusus. Wilayah Gaza disebutkan dalam Perjanjian Baru di Kisah Para Rasul 8, yang mengacu pada Filipus Penginjil yang membaptis seorang pria dari Etiopia di jalan antara Yerusalem dan Gaza.
“Sekarang malaikat Tuhan berbicara kepada Filipus, katanya, ‘Bangkitlah dan berjalanlah ke arah selatan sepanjang jalan yang membentang dari Yerusalem ke Gaza.’ Ini adalah gurun pasir,” demikian bunyi ayat tersebut.
Gereja Saint Porphyrius di Gaza yang diserang Israel merupakan salah satu situs keagamaan terpenting di Palestina. Gereja ini diberikan nama berdasarkan nama seorang uskup abad kelima. Situs ini adalah salah satu tempat ibadah tertua yang masih ada di wilayah Palestina, dan salah satu gereja tertua di dunia.
Gereja ini awalnya dibangun pada tahun 425 M dan kemudian dibangun kembali oleh Tentara Salib pada abad ke-12. Situs Kristen besar lainnya di Gaza adalah biara Tell Umm Amer yang terletak di dekatnya. Usia biara ini lebih tua dari Gereja Saint Porphyrius.
Gereja ini berfungsi sebagai tempat ibadah bagi mereka yang melakukan perjalanan antara Mesir dan tanah Syam, termasuk Palestina dan Suriah. Situs ini terkenal sebagai tempat kelahiran Saint Hilarion, seorang biarawan Palestina abad keempat, yang membantu merintis monastisisme.
Kehadiran sejumlah gereja dan biara, serta referensi Kitab Injil menunjukkan bahwa agama Kristen di Gaza berakar seiring dengan berkembangnya agama di wilayah tersebut. Namun, adopsi agama ini secara luas baru terjadi pada abad kelima.
Menurut pakar Nicole Belayche, kekuatan aliran sesat di Gaza sebelum abad kelima “tidak dapat disangkal”. Dalam esainya di buku Christian Gaza in Late Antiquity, ia menulis bahwa ketika Porphyrius ditahbiskan menjadi uskup di Gaza, populasi umat Kristen berjumlah kurang dari tiga ratus orang dari populasi yang diperkirakan berjumlah antara 20.000 dan 25.000.
Konversi massal Gaza ke agama Kristen dimulai pada abad kelima di bawah naungan Kekaisaran Bizantium, penerus Kekaisaran Romawi Timur. “Ini adalah proses yang sulit dan membutuhkan intervensi kekaisaran,” ujar Belayche.
Dalam bukunya, History of the City of Gaza, sarjana Yahudi-Amerika pada akhir abad ke-19, Martin A Meyer, menulis: “Iman baru ini hampir tidak memiliki cukup waktu untuk berkembang sebelum Islam menyapu bersih dari wilayah ini selamanya.”
Pernyataan Meyer bersifat hiperbolis namun menyentuh kenyataan bahwa selama berabad-abad setelah penaklukan Arab, sebagian besar penduduk wilayah tersebut masuk Islam.
Masih ada minoritas Kristen kecil di wilayah Gaza, yang bertahan selama berabad-abad dan menikmati pertumbuhan singkat di bawah kekuasaan Tentara Salib pada abad ke-12.
Seperti warga Palestina lainnya, banyak umat Kristen di wilayah tersebut yang terpaksa meninggalkan rumah mereka selama berdirinya negara Israel pada 1948. Pengusiran paksa ini dikenal sebagai peristiwa Nakba. Akibatnya, populasi umat Kristen di Gaza semakin menyusut selama beberapa dekade. Tren ini terus berlanjut setelah peristiwa Nakba.
Menurut The Guardian, terdapat 6.000 warga Kristen Palestina di Gaza pada pertengahan tahun 1960an. Jumlah tersebut telah menurun menjadi 1.100 saat ini.
Kebanyakan umat Kristen di wilayah Gaza menganut Gereja Ortodoks Yunani, sementara kelompok minoritas menganut Gereja Baptis dan Katolik. Sejak pengepungan Israel di Gaza dimulai pada 2007, umat Kristen menghadapi pembatasan pergerakan yang sama seperti yang dialami umat Muslim.
Terputus dari komunitas Kristen yang lebih besar di Tepi Barat dan Yerusalem, umat Kristen di Gaza memerlukan izin Israel untuk melakukan perjalanan untuk acara keagamaan. Pada 2021, Israel mengeluarkan izin bagi sekitar setengah populasi Kristen Palestina di Gaza untuk menghadiri kebaktian Natal.
Hak untuk menghadiri ritual tersebut sama sekali tidak dijamin, sebagaimana dibuktikan dengan keputusan Israel untuk membatalkan 700 izin bagi umat Kristen di Gaza untuk menghadiri kebaktian Paskah di Yerusalem. Israel juga menolak permohonan izin bagi 260 warga Palestina di Gaza yang ingin merayakan Natal di luar wilayah tersebut.
Meski jumlahnya sedikit, Gereja-Gereja di Gaza secara rutin membuka pintunya bagi penganut agama apa pun untuk mencari perlindungan selama masa konflik, dengan harapan rumah ibadah tidak diserang oleh Israel. Harapan tersebut mungkin memudar dengan cepat setelah serangan terbaru Israel terhadap Gereja Saint Porphyrius.