REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pemimpin gereja Katolik Roma di Yerusalem mengatakan, pemerintahan sayap kanan Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah memperburuk kehidupan umat Kristen di tempat kelahiran agama Kristen. Patriark Latin yang ditunjuk Vatikan, Pierbattista Pizzaballa, mengatakan, komunitas Kristen yang berusia 2.000 tahun di wilayah tersebut semakin banyak mendapat serangan.
Di bawah pemerintahan sayap kanan Israel para ekstremis semakin berani melecehkan para pendeta dan merusak properti keagamaan dengan semakin cepat. Meningkatnya insiden anti-Kristen terjadi ketika gerakan pemukim Israel, yang digalakkan oleh sekutu-sekutunya di pemerintahan, tampaknya memanfaatkan momen ini untuk memperluas usahanya di ibu kota yang diperebutkan tersebut. Bukit Zaitun menjadi target terbaru dalam perebutan kendali atas Yerusalem
“Frekuensi serangan dan agresi ini telah menjadi sesuatu yang baru. Orang-orang ini merasa mereka dilindungi, bahwa suasana budaya dan politik saat ini dapat membenarkan, atau menoleransi, tindakan terhadap umat Kristen," ujar Pizzaballa.
Kekhawatiran Pizzaballa tampaknya melemahkan komitmen Israel terhadap kebebasan beribadah, yang tertuang dalam deklarasi yang menandai berdirinya negara tersebut 75 tahun lalu. Pemerintah Israel menekankan, mereka memprioritaskan kebebasan beragama dan hubungan dengan gereja-gereja, yang memiliki hubungan kuat dengan luar negeri.
“Komitmen Israel terhadap kebebasan beragama sangat penting bagi kami selamanya. Ini berlaku untuk semua agama dan minoritas yang memiliki akses bebas ke tempat-tempat suci," kata Tania Berg-Rafaeli, direktur departemen agama dunia di Kementerian Luar Negeri Israel.
Namun umat Kristen mengatakan, mereka merasa pihak berwenang tidak melindungi situs mereka dari serangan yang ditargetkan. Permusuhan terhadap minoritas Kristen bukanlah hal baru di Kota Tua yang padat penduduk, yang merupakan pusat ketegangan yang dianeksasi oleh pemerintah Israel pada 1967.
Para pemimpin pemukim Yahudi memegang peran penting dalam pemerintahan Netanyahu. Mereka adalah Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich, dan Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir, yang telah dijatuhi hukuman pidana sejak 2007 karena menghasut rasialisme anti-Arab dan mendukung gerakan pemukim ilegal Yahudi.
Pengaruh Smotrich dan Ben-Gvir telah memberdayakan pemukim Israel yang berusaha untuk memperkuat kendali Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Hal ini membuat para pemimpin gereja khawatir karena rencana pemerintah untuk membuat taman nasional di Bukit Zaitun merupakan ancaman terhadap kehadiran umat Kristen di Israel.
“Unsur-unsur sayap kanan bergerak menuju Yudaisme di Kota Tua dan wilayah lainnya, dan kami merasa tidak ada yang dapat menghalangi mereka saat ini,” kata Pastor Don Binder, seorang pendeta di Katedral Anglikan St George di Yerusalem.
Saat ini terdapat sekitar 15.000 orang Kristen di Yerusalem dan mayoritas dari mereka adalah orang Palestina. Populasi Kristen sebelumnya berjumlah 27.000 orang. Kemudian mereka terusir setelah perang pada 1967. Yusef Daher dari Jerusalem Inter-Church Centre, mengatakan, 2023 akan menjadi tahun terburuk bagi umat Kristiani dalam satu dekade.
Serangan fisik dan pelecehan terhadap pendeta seringkali tidak dilaporkan. Jerusalem Inter-Church Centre telah mendokumentasikan setidaknya tujuh kasus serius vandalisme terhadap properti gereja dari Januari hingga pertengahan Maret 2023. Para pemimpin Gereja menyalahkan ekstremis Israel atas sebagian besar kasus tersebut. Para pemimpin Gereka menyatakan, mereka khawatir akan terjadi eskalasi lebih lanjut.
“Eskalasi ini akan membawa lebih banyak kekerasan. Ini akan menciptakan situasi yang sangat sulit untuk diperbaiki," ujar Pizzaballa.
Pada Maret, dua warga Israel menyerbu basilika di samping Taman Getsemani. Mereka menyerang seorang pendeta dengan tongkat logam sebelum ditangkap. Pada Februari, seorang Yahudi Amerika menarik patung Kristus setinggi 10 kaki dan membantingnya ke lantai, memukul wajahnya dengan palu sebanyak belasan kali di Gereja Pencambukan di Via Dolorosa.
Insiden Meludah