REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khalifah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu terkenal dengan kezuhudannya. Ali bin Abi Thalib adalah seorang pemimpin yang tidak cinta dunia.
Dhirar bin Dhamirah menggambarkan kepribadian Ali bin Abi Thalib kepada Muawiyah, "Dia (Ali bin Abi Thalib) suka menghindarkan diri dari hiruk-pikuk dunia dan kenikmatannya, tetapi sangat akrab dengan malam dan kegelapannya."
Dhirar bin Dhamirah berkata, "Demi Allah, aku bersaksi, suatu ketika aku pernah melihat (Ali bin Abi Thalib) berdiri di bagian sudut tempat dia biasa beribadah malam. Ketika itu, malam hampir melepas selimut kegelapannya dan bintang-bintang telah tenggelam."
"Lalu, dia (Ali bin Abi Thalib) masuk ke mihrabnya sambil memegang janggutnya dan duduk bersimpuh sambil menangis tersedu-sedu seperti seorang yang sedang dirundung kesedihan. Seakan-akan saat ini juga aku sedang mendengarkan ratapannya."
"Berkali-kali dia (Ali bin Abi Thalib) berkata dengan penuh kerendahan di hadapan Allah, 'Wahai Tuhan kami, wahai Tuhan kami'."
"Kemudian dia (Ali bin Abi Thalib) berkata kepada dunia: wahai dunia, mengapa kamu menipu aku, mengapa kamu selalu muncul dan mendekati aku? Menjauhlah kamu dari aku. Tipulah orang lain selain aku."
"Ali bin Abi Thalib berkata: sesungguhnya aku sudah menceraikanmu dengan talak tiga karena umur kamu (dunia) sangat sebentar, majelis kamu sangat hina, dan kedudukan kamu sangat rendah. Ah, perbekalan sangat sedikit, sedangkan perjalanan amat panjang dan penuh bahaya."
Mendengar kisah Ali bin Abi Thalib dari Dhirar bin Dhamirah, maka air mata Muawiyah pun menetes hingga membasahi janggutnya. Muawiyah tidak bisa lagi menahannya. Dia kemudian menghapus air matanya dengan pakaiannya. Semua yang ada di sekeliling Muawiyah ikut menangis.
Muawiyah berkata, “Beginilah Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib). Dhirar bin Dhamirah, bagaimana perasaanmu dengan kehilangan (Ali bin Abi Thalib)?"
Dhirar bin Dhamirah menjawab, “Kesedihanku atas kehilangan (Ali bin Abi Thalib) seumpama kesedihan orang yang dibunuh anak satu-satunya di hadapan matanya sendiri, air matanya tidak akan mengering dan lara hatinya takkan pernah sirna.”
Kisah ini dikutip dari buku 150 Kisah Ali bin Abi Thalib yang ditulis Ahmad Abdul Al Al-Thahthawi yang disunting, diterjemahkan dan diterbitkan kembali PT Mizan Pustaka, 2016. Setelah itu Dhirar bin Dhamirah menjawab pertanyaan Muawiyah, dia bangkit dari perkumpulan dan pertemuan bersama Muawiyah dan orang-orang, kemudian Dhirar bin Dhamirah pergi.