Selasa 31 Oct 2023 03:34 WIB

Rumah Kebugaran Difabel Bantul, Jadi Akses Kesehatan dan Kesejahteraan Difabel

Para mahasiswa psikologi juga rutin datang untuk membantu kegiatan RKD.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Kegiatan di Rumah Kebugaran Difabel di Sedayu, Bantul.
Foto: Idealisa Masyrafina
Kegiatan di Rumah Kebugaran Difabel di Sedayu, Bantul.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Gadis berusia sembilan tahun dengan baju berwarna pink itu tampak asyik sendiri di depan cermin besar di sebuah ruang terapi. Alexa namanya, dia datang untuk fisioterapi yang rutin dilakukan sepekan sekali.

"Punya anak spesial itu harus sabar dan ikhlas," ujar Yulismawati, ibu Alexa, kepada Republika, Sabtu (28/10/2023). Saat itu Alexa tampak normal seperti anak-anak lainnya.

Namun ternyata, tidak seperti anak-anak seusianya, gadis kecil itu baru bisa berjalan pada usia delapan tahun. Alexa merupakan pengidap down syndrome yang memiliki beberapa kondisi medis yang menyebabkannya harus ikut banyak terapi dan pengobatan sejak lahir.

Pada usia tiga tahun, Alexa didiagnosis memiliki kebocoran jantung bawaan, sehingga ia harus menghentikan sejenak jadwal fisioterapi untuk pengobatan. Usai dioperasi dan melakukan terapi wicara di RSUD Panembahan Senopati, Alexa kembali melakukan rutinitas fisioterapi di Pusat Layanan Autis dan puskesmas.

Keberadaan Rumah Kebugaran Difabel (RKD) di Jalan Bandut Kidul, Kalurahan Argorejo, Kapanewon Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 2019 menjadi secercah harapan untuk Yulismawati agar Alexa mendapatkan terapi yang lokasinya tidak jauh dari rumah mereka.

Karena selama ini meski semua biaya berobat ditanggung pemerintah, ongkos perjalanan cukup memberatkan untuk dirinya dan suami yang hanya bekerja sebagai buruh. RKD merupakan salah satu wadah bagi komunitas difabel di Sedayu, Bantul untuk mendapat akses kesehatan secara murah dan mudah, dengan bayaran sukarela.

"Alhamdulillah selama empat tahun terapi di sini Alexa udah membaik. Waktu usia tujuh tahun jalannya masih ngangkang dan maunya di kasur saja, lalu setelah rutin di sini usia delapan tahun lebih sudah bisa jalan normal," ungkap Yulismawati.

Selain Alexa, seorang tunadaksa bernama Wagilah (52) juga merupakan difabel yang rutin melakukan terapi di RKD. Setiap Sabtu, Wagilah akan datang ke sana untuk mendapatkan akupresur untuk mengatasi kekakuan otot yang dideritanya sejak lahir karena cerebral palsy.

"Kaki saya sudah sejak lahir begini, kaku. Kalau sudah diterapi rasanya agak enakan dipakai jalan," kata Wagilah yang mengenakan satu alat bantu jalan.

Sebelum mendapatkan akupresur di RKD, Wagilah yang seorang penjaja gorengan di dekat sebuah pabrik tidak mampu mendapatkan akses terapi. Keberadaan RKD sangat membantunya untuk bisa mendapatkan sedikit rasa nyaman pada kakinya yang sakit sejak lahir.

Menurut penggagas Rumah Kebugaran Difabel, Maria Tri Suhartini (44), di n Sedayu ada ratusan difabel yang butuh pendampingan agar mendapatkan kesejahteraan. Untuk itu, ia bersama dengan rekan-rekannya yang peduli akan nasib difabel mulai mendirikan Forum Keluarga Difabel Sedayu 'Pinilih' pada 2017.

Pinilih merupakan wadah untuk menghubungkan keluarga difabel satu sama lain. Jadi tidak hanya teman-teman difabel, komunitas ini juga mencakup keluarga difabel atau orang-orang yang peduli dengan para difabel.

"Kami bentuk Pinilih sebagai wadah para difabel saling terhubung. Jadi ada empat program utamanya yaitu peningkatan kapasitas, ekonomi, kesehatan dan advokasi," kata Tri.

Melalui Pinilih, mereka membuat berbagai kegiatan untuk memberdayakan para difabel, seperti public speaking, pelatihan budi daya jamur, membatik, pelayanan kesehatan, hingga advokasi bantuan seperti pembuatan KTP maupun KIS yang menjadi dasar pemberian bantuan sosial dari pemerintah pusat.

Khusus untuk pelayanan kesehatan, Pinilih mendirikan RKD pada 2019 yang tak lepas dari dukungan berbagai pihak. Lokasi yang digunakan yakni gedung puskesmas pembantu Puskesmas Sedayu yang berada di atas tanah kas desa (TKD).

Diberi nama Rumah Kebugaran Difabel karena mereka ingin para difabel yang datang menjadi bugar setelah ke sana. Kata 'terapi' seringkali berkonotasi negatif dengan penyakit, sedangkan kata 'bugar' lebih tepat karena sesuai dengan tujuan mereka datang ke sana untuk menjadi sehat dan bugar.

Melalui program CSR Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah (JBT) Fuel Terminal Rewulu, bangunan tersebut direnovasi dan dilengkapi fasilitasnya agar bisa digunakan sebagai tempat layanan kesehatan bagi para difabel. RKD pun semakin representatif, meskipun sempat terbatasi oleh pandemi Covid-19.

"Pertamina memfungsikan bangunan ini dengan direnovasi, melengkapi alat-alat fisioterapis dan membuat guiding block, termasuk melatih kader-kader disini seperti akupresur, agar mempunyai layanan yang standar," jelas Tri.

Tidak hanya itu, Pertamina Fuel Terminal Rewulu juga membuatkan rumah jamur untuk usaha para pengurus RKD, juga rumah kreasi barang-barang bekas. Menurut Tri, bantuan usaha tersebut sangat penting karena selama ini para pengurus RKD mengoperasikan kegiatan mereka dengan biaya seadanya.

"Karena di sini bayarnya sukarela, kami memang kesulitan dengan biaya operasionalnya. Jadi kami pun membayar para terapis juga dengan dana semampu kami," katanya.

Tantangan dan harapan

Salah satu pengurus RKD yang juga bagian dari Pinilih, Tintin menyebutkan, berdasarkan data yang berhasil Pinilih himpun, ada lebih dari 500 difabel di seluruh Sedayu. Hampir separuhnya merupakan difabel mental atau Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Untuk membantu mereka, RKD juga menyediakan fasilitas konseling yang bekerja sama dengan Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY). Secara rutin dosen sekaligus praktisi psikologi UMBY akan hadir bersama beberapa mahasiswa untuk memberikan konseling bagi para difabel yang datang ke RKD.

Para mahasiswa psikologi juga rutin datang untuk ikut serta membantu kegiatan RKD dan Pinilih. "Kami sangat terbantu sekali, karena kan kami di sini adalah relawan yang punya keluarga difabel juga untuk diurus. Tidak selalu bisa ikut kegiatan," ujar Tintin.

Memang hampir seluruh pengurus Pinilih memiliki anggota keluarga yang adalah penyandang disabilitas. Itu sebabnya kenapa komunitas Pinilih dinamakan 'keluarga', karena mereka memang bagian dari keluarga para difabel.

Kepedulian dan empati terhadap sesama difabel itulah yang mengeratkan mereka. Berbagai bantuan pun berdatangan untuk mereka, seperti fasilitas-fasilitas dari program CSR.

Bahkan mereka juga dapat melakukan layanan antar jemput dengan ambulans puskesmas untuk para difabel. Akan tetapi, tidak dipungkiri kalau mereka masih kesulitan dengan biaya operasional.

Apalagi biaya untuk mengganti uang transportasi para difabel netra yang menjadi terapis akupresur. Selain itu, biaya operasional juga diperlukan untuk menambah sumber daya manusia (SDM), khususnya terapis, yang saat ini jumlahnya hanya sedikit.

Banyak dari mereka mungkin mau melakukan kegiatan ini secara sukarela, tapi lokasi yang jauh dapat memberatkan para relawan terapis dari segi ongkos. Ini menjadi penyebab mengapa layanan RKD hanya bisa diakses pada Sabtu.

"Kalau digratiskan tidak memungkinkan juga, jadi bayarnya benar-benar sukarela, malah ada yang tidak bayar. Kita juga tidak bisa memaksakan karena ingin memudahkan mereka yang membutuhkan layanan fisioterapis. Jadi harapannya suatu saat ada donatur dana agar kami dapat memberikan upah selayaknya untuk teman-teman netra dan fisioterapis," ungkapnya.

Tri menambahkan, tentunya tantangan- tantangan tersebut tidak menyurutkan langkah para relawan untuk terus membantu para difabel. Mereka telah memiliki fasilitas yang bagus untuk melaksanakan tujuan mulia mereka membantu penyandang disabilitas.

"Dengan keterbatasan-keterbatasan kami tetap bisa berjalan. Tapi harapan kami tentunya Pemda lebih memperhatikan, sehingga semua difabel bisa mendapatkan layanan kesehatan lebih rutin lagi," kata dia.

Salah seorang terapis akupresur, Mardani (34) mengaku ikhlas melakukan pijat acupressure di RKD tanpa bayaran besar. Rumahnya cukup dekat dari lokasi RKD, dan ia hanya perlu berjalan kaki.

"Saya gak memandang besar kecilnya uang, niatnya di sini untuk saling menolong teman-teman difabel lainnya," ujar Mardani.

Mardani merupakan salah satu dari tujuh orang difabel netra yang mendapatkan pelatihan akupresur. Bagi Mardani pelatihan tersebut sangat berguna sekali untuknya menambah ilmu terapi yang dapat digunakan juga di luar RKD.

Area Manager Communication, Relation & Corporate Social Responsibility (CSR) Regional Jawa Bagian Tengah PT Pertamina Patra Niaga, Brasto Galih Nugroho, menjelaskan kehadiran RKD ini merupakan salah satu upaya Pertamina untuk membantu para difabel mendapatkan akses kesehatan selama pandemi Covid-19.

"Saat pandemi Covid-19 para difabel menjadi kelompok yang rentan dan mengalami penurunan kesehatan karena kesulitan," ujar Brasto.

Berangkat dari permasalahan tersebut Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Rewulu mewujudkan RKD pada 29 Juni 2021. Bekerja sama dengan berbagai pihak, mereka berupaya agar kegiatan RKD dapat semakin representatif.

Upaya-upaya yang dilakukan yakni melakukan pelatihan, pemeriksaan kesehatan dasar, pelatihan acupressure, dan pelatihan manajemen layanan kesehatan untuk para kader RKD.

"Awalnya RKD untuk memberikan layanan kesehatan difabel yang menurun kesehatannya di masa pandemi. Sekarang para difabel bisa mendapat layanan yang mudah dan terjangkau di RKD meliputi kesehatan dasar, akupresur, fisioterapi, dan konseling Psikologis," jelas Brasto.

Pada 2022 pengembangan RKD berupa pembangunan sarana prasarana pendukung berupa kanopi untuk praktik pelayanan kesehatan, gudang RKD, dan kumbung jamur untuk budi daya jamur tiram.

Selain itu juga telah dilaksanakan pelaksanaan pengembangan kewirausahaan berupa budi daya jamur tiram dan pembuatan kain batik untuk penyandang disabilitas, kegiatan tersebut mampu meningkatkan produktivitas penyandang disabilitas.

Adapun di 2023, Pertamina rencananya akan terus melakukan kegiatan pengembangan kewirausahaan, pengadaan peralatan pendukung, dan pelatihan layanan kesehatan.

"Harapannya ini dapat meningkatkan kesehatan, kemampuan, dan kesejahteraan para difabel," katanya.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

  • 1 kali
  • 2 kali
  • 3 kali
  • 4 kali
  • Lebih dari 5 kali
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement