Senin 30 Oct 2023 21:42 WIB

Dampak Perubahan Iklim, Perubahan Populasi Ikan Paus Sangat Ekstrem

Perubahan populasi tak pernah diduga bisa terjadi pada spesies paus berumur panjang.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Dampak perubahan iklim membuat perubahan pada populasi ikan paus yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Foto: AP
Dampak perubahan iklim membuat perubahan pada populasi ikan paus yang tidak pernah diduga sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paus abu-abu mengalami siklus populasi "boom-and-bust" (naik-turun) yang substansial sebagai respons terhadap pergeseran kondisi Arktik, demikian menurut penelitian baru. Sejak tahun 1980-an, para ilmuwan telah mengamati tiga kali kematian yang signifikan pada populasi paus abu-abu di Pasifik Utara bagian timur. Setiap kematian, termasuk yang sedang berlangsung sejak 2019, telah menyebabkan penurunan populasi paus abu-abu sebanyak 25 persen hanya dalam beberapa tahun.

Penulis utama studi sekaligus asisten professor di Oregon State University, Joshua Stewart, mengatakan bahwa ini merupakan perubahan populasi ekstrem yang tidak pernah diduga akan terjadi pada spesies besar dan berumur panjang seperti paus abu-abu.

Baca Juga

“Ketika ketersediaan mangsa mereka di Kutub Utara rendah, dan paus tidak dapat mencapai area makan mereka karena es laut, populasi paus abu-abu mengalami guncangan yang cepat dan besar. Bahkan spesies yang sangat mobile dan berumur panjang seperti paus abu-abu sangat sensitif terhadap dampak perubahan iklim,” kata Stewart seperti dilansir Study Finds, Senin (30/20/2023).

Para peneliti mencatat bahwa paus abu-abu Pasifik Utara bagian timur, yang telah pulih dari dampak perburuan paus komersial, kemungkinan besar mendekati daya dukung area makan mereka di Kutub Utara, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap perubahan lingkungan akibat persaingan sumber daya.

Menariknya, kondisi Arktik yang keras yang menyebabkan dua kematian paus pada tahun 1980-an dan 1990-an tidak bersifat permanen. Populasi paus dengan cepat bangkit kembali ketika kondisi menjadi lebih baik.

"Ternyata kami tidak benar-benar tahu seperti apa populasi paus balin yang sehat ketika tidak banyak berkurang akibat dampak manusia. Asumsi kami secara umum adalah bahwa populasi yang pulih ini akan mencapai daya dukung lingkungannya dan tetap stabil di sana. Namun, apa yang kami lihat lebih merupakan perjalanan yang bergelombang sebagai respons terhadap kondisi lautan yang sangat bervariasi dan berubah dengan cepat,” jelas Stewart.

Saat ini, sekitar 14.500 paus abu-abu Pasifik Utara bagian timur melakukan migrasi tahunan sejauh 19.312 kilometer di sepanjang Pantai Pasifik, berpindah dari perairan hangat di lepas pantai Baja California, Meksiko, selama musim dingin ke perairan Arktik yang dingin dan kaya nutrisi untuk mencari makan di musim panas. Selama beberapa dekade, Pusat Sains Perikanan Barat Daya Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional di California telah memantau spesies ini, menjadikan paus abu-abu Pasifik Utara bagian timur sebagai salah satu populasi paus besar yang paling banyak diteliti secara global.

"Ketika kami mulai mengumpulkan data tentang paus abu-abu pada tahun 1967, kami tidak menyadari peran penting yang akan mereka mainkan dalam memahami dampak perubahan iklim pada spesies penjaga ikonik di Pasifik. Penelitian ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa catatan jangka panjang kami yang dapat diandalkan," kata Dave Weller dari Southwest Fisheries Science Center.

Analisis tim peneliti, yang menghubungkan data jangka panjang paus abu-abu dengan informasi lingkungan Arktik, menemukan hubungan antara kejadian kematian yang tidak biasa pada tahun 1999 dan 2019 dan faktor-faktor seperti tingkat es laut dan sumber makanan krustasea untuk paus. Mereka juga mengidentifikasi kejadian serupa pada tahun 1980-an yang tidak terkait dengan lonjakan paus terdampar, kemungkinan besar karena pelaporan yang kurang efisien sebelum tahun 1990-an.

Meskipun periode tertutup es yang lebih pendek di Kutub Utara pada awalnya tampak menguntungkan bagi paus, tren ini, yang dipercepat oleh perubahan iklim, mungkin tidak berkelanjutan. Sumber makanan utama paus yaitu amphipoda bentik, bergantung pada es laut. Ganggang yang tumbuh di bawah es memberi makan amphipoda, tetapi berkurangnya es berarti berkurangnya makanan bagi mereka. Akibatnya, krustasea yang lebih kecil tumbuh subur di perairan yang lebih hangat, dan arus yang lebih deras mengurangi habitat mangsa paus.

"Dengan berkurangnya es, Anda akan mendapatkan lebih sedikit ganggang, yang lebih buruk bagi mangsa paus abu-abu. Semua faktor ini menyatu untuk mengurangi kualitas dan ketersediaan makanan yang mereka andalkan," tegas Weller.

Menurut Stewart, peristiwa kematian paus abu-abu saat ini berlangsung lebih lama dari sebelumnya. Dia menilai, dampak yang berkelanjutan mungkin disebabkan oleh pergeseran jangka panjang dalam kualitas mangsa yang disebabkan oleh perubahan iklim.

"Samudra Arktik yang telah menghangat secara signifikan mungkin tidak dapat mendukung 25.000 paus abu-abu seperti yang terjadi di masa lalu," kata dia.

Namun, mengingat kemampuan paus abu-abu untuk beradaptasi selama ratusan ribu tahun, tim tetap optimis tentang kelangsungan hidup jangka panjang hewan ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement