Selasa 31 Oct 2023 08:54 WIB

Ulasan Film Budi Pekerti: Refleksi Diri Bersama Keluarga Bu Prani 

Budi Pekerti ingin menyampaikan pesan framing sesuatu yang viral sering terjadi.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Friska Yolandha
Poster film Budi Pekerti, yang tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) awal September 2023 mendatang.
Foto: Dok Rekata Studio Indonesia
Poster film Budi Pekerti, yang tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) awal September 2023 mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah film karya Wregas Bhanutedja berjudul Budi Pekerti, terinspirasi dari banyak kejadian viral saat pandemi. Dikemas dengan semiotik yang detil, keseluruhan plot dalam film ini mampu mengajak penonton untuk merefleksikan diri bersama keluarga Bu Prani.

Saat satu kesalahan tidak disengaja dilakukan oleh Prani (Sha Ine Febriyanti) yang juga merupakan guru BK di salah satu SMP di Yogyakarta, membuatnya viral. Seketika kehidupan Prani dan keluarganya hancur, semua orang memandangnya sosok yang buruk.

Baca Juga

Dari situlah, kehidupan Prani mulai terusik. Kedua anaknya Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda) mau tidak mau ikut terjerembab dalam kubangan caci semua orang. Tetapi di satu sisi, mereka harus merahasiakan kejadian yang mereka alami dari suami Prani, Didit (Dwi Sasono) yang memiliki bipolar.

Wregas memilih profesi guru BK dengan tepat karena guru BK di masa sekarang ini juga menjadi guru paling dicari di kalangan remaja. Mungkin dulu guru BK hanya menangani murid nakal, kini murid yang memiliki permasalahan psikologi tak ragu mendatangi guru BK.

Penonton akan diperlihatkan sosok Prani yang merupakan guru BK terbaik, ia mendidik anaknya bukan dengan hukuman melainkan dengan ‘refleksi’. Setiap refleksi yang diberikan Prani selalu berhasil membuat murid-murid merasa lega dan berubah lebih baik.

Tetapi karena video viralnya, niat mulia Prani ‘menyembuhkan’ kenakalan murid-muridnya justru dianggap kesalahan. Prani dan keluarganya berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan nama baiknya, yang berujung sia-sia.

Wregas ingin menyampaikan pesan bahwa kejadian seperti ini beberapa kali terlihat di media sosial. Kejadian viral di-framing menjadi kesalahan satu pihak, semua orang ikut menghakimi, lalu habis lah hidup sang pihak tertuduh.

“Salah atau benar itu cuma perkara siapa yang paling banyak ngomong,” kata Muklas dalam sepenggal kalimat ketika keadaan semakin rumit, dengan berbagai kabar yang menyudutkan keluarganya. Kalimat ini menyoroti kekuatan komentar warganet yang bisa mempengaruhi opini publik.

Wregas ingin memperlihatkan bahwa tidak ada....

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement