REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Emmanuel Macron akan melakukan perjalanan ke Asia Tengah yang kaya energi untuk mengunjungi Kazakhstan dan Uzbekistan. Kunjungan ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan energi Perancis.
Upaya ini sejalan dengan langkah Eropa untuk melakukan diversifikasi dari bahan bakar fosil Rusia yang sebelumnya sangat diandalkan oleh blok tersebut. Namun di sisi lain, negara-negara bekas Uni Soviet tidak ingin bergantung pada Rusia.
Para pejabat Perancis berpendapat, perang di Ukraina telah meresahkan hubungan yang telah lama terjalin di wilayah tersebut, dan hal ini menciptakan sebuah peluang.
Cadangan minyak, gas, dan mineral yang melimpah di Asia Tengah menjadikan negara ini sebagai pusat perebutan pengaruh di kawasan yang biasanya menjadi basis Rusia. Cina memperluas jangkauannya melalui proyek infrastruktur Belt and Road yang dicanangkan Presiden Xi Jinping.
Kemudian Amerika Serikat berupaya memperkuat kehadiran politiknya, sementara Uni Eropa berupaya mengikat kawasan ini ke dalam koridor perdagangan dan energi yang melintasi Kaukasus.
Perancis sudah mempunyai sejumlah investasi besar di kawasan Asia Tengah. Perusahaan nuklir Perancis, Orano SA yang sebelumnya dikenal sebagai Areva mengeksploitasi cadangan uranium di Kazakhstan melalui usaha patungan dengan perusahaan milik negara Kazatomprom.
Upaya Perancis untuk mendapatkan uranium menjadi semakin mendesak setelah terjadi kudeta di Niger pada Juli 2023. Orano harus menghentikan pemrosesan bijih uranium di salah satu fasilitasnya di republik Sahara karena sanksi internasional terhadap junta militer menghambat logistik.
“Kazakhstan adalah kunci keamanan energi Prancis. Kunjungan Macron akan menjadi pengingat bahwa Paris siap meningkatkan kerja sama," kata Michael Levystone, peneliti Institut Hubungan Internasional Prancis yang berbasis di Paris, dilansir Bloomberg, Selasa (31/10/2023).
Selain menjadi pemasok uranium terbesar ke Prancis, tahun lalu Kazakhstan juga menjadi sumber minyak mentah terbesar kedua. Kazakhstan adalah salah satu dari sedikit negara yang menjadi sasaran negara-negara kaya. Negara anggota Kelompok Tujuh (G7) bersama-sama memutuskan untuk memperdalam kemitraan mereka dengan Kazakhstan.
Pekan lalu para menteri luar negeri Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan bertemu dengan 27 menteri luar negeri Negara Anggota Uni Eropa untuk pertama kalinya. Sementara pada September Presiden Joe Biden bertemu dengan para pemimpin mereka di di sela-sela Sidang Umum PBB. Pada bulan yang sama, Kanselir Jerman Olaf Scholz menjamu mereka di Berlin.
Presiden Perancis akan melakukan perjalanan ke Kazakhstan dengan delegasi yang terdiri dari 15 pemimpin bisnis dari sektor energi, pangan pertanian dan pertambangan. Menurut seorang pejabat Elysee, perusahaan utilitas Electricite de France SA dan perusahaan teknik Assystem SA, yang menyediakan keahlian untuk membangun reaktor nuklir, juga ikut dalam rombongan.
Presiden Kazakhtan, Kassym-Jomart Tokayev mengadakan referendum mengenai pembangkit listrik tenaga nuklir yang akan mengurangi ketergantungan negara tersebut pada bahan bakar fosil. Kazakhstan juga memiliki rencana untuk mulai mengekstraksi logam tanah jarang tahun depan.
Awal tahun ini presiden Perancis melakukan kunjungan kenegaraan ke Cina. Perjalanan ini sejalan dengan upaya Macron untuk memperluas pengaruh Perancis di Asia.
Macron baru-baru ini menjadi presiden Prancis pertama yang mengunjungi Mongolia. Dia menandatangani kesepakatan untuk mendapatkan lebih banyak uranium. Setidaknya dalam setahun terakhir ia menjadi pemimpin Prancis pertama yang menghadiri pertemuan puncak Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik dengan negara-negara di Lingkar Pasifik.