REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meluncurkan hasil riset yang dinamakan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tematik mengenai kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian via media sosial. Riset kuantitatif menggunakan data pengawasan pilkada sebelumnya dan Pemilu 2019 menemukan bahwa DKI Jakarta adalah provinsi paling rawan.
Komisioner Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan, DKI Jakarta memperoleh skor tertinggi, yakni 75 sebagai provinsi paling rawan terjadi kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian via media sosial. Setelah DKI Jakarta, menyusul Maluku Utara (skor 36,11), Kepulauan Bangka Belitung (34,03), Jawa Barat (11,11), Kalimantan Selatan (0,69), dan Gorontalo (0,69).
Lolly menyebut, DKI Jakarta selalu masuk lima besar dalam berbagai isu tematik kerawanan pemilu, seperti kerawanan netralitas ASN dan politisasi SARA. "DKI Jakarta dia rawan semua dimensi isu strategis pemilu," ujar Lolly saat peluncuran IKP tematik di Kota Bogor, Selasa (31/10/2023).
Pada tingkat kabupaten/kota, kata Lolly, ada Kabupaten Fakfak, Papua Barat dan Intan Jaya, Papua Tengah adalah kabupaten yang paling rawan terjadi kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian via media sosial pada Pemilu 2024. Posisi ketiga hingga kelima ditempati Kabupaten Malaka, Kota Jakarta Timur, dan Kabupaten Purworejo.
Lolly menjelaskan, media sosial yang paling sering digunakan untuk melakukan kampanye bermuatan SARA, hoaks dan ujaran kebencian adalah Facebook, WhatsApp dan Twitter. Khusus WhatsApp biasanya yang dilakukan melalui grup keluarga atau komunitas terdekat.
Dia melanjutkan, konten kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial yang paling dominan adalah foto, video dan link berita yang ditambahkan dengan narasi yang intimidatif dan dibuat sedemikian rupa sehingga seakan-akan mengancam.
"Modus (pelaku melakukannya) adalah untuk mendapatkan dukungan atau simpati yang lebih besar, menyerang lawan dan mendelegitimasi proses atau hasil pemilu," ujar Lolly.
Menurut Lolly, kampanye bermuatan SARA, kabar bohong, dan ujaran kebencian via media sosial dapat menjadi penyebab terjadinya polarisasi, bahkan konflik, masyarakat di dunia nyata. Masalahnya, penindakan sulit dilakukan karena terbatasnya regulasi. Terutama menindak partai politik atau kontestan karena sulit membuktikan afiliasi mereka dengan pelaku.
"Oleh karena itu, salah satu cara yang paling efektif dalam memerangi kampanye SARA, hoaks, dan ujaran kebencian adalah dengan countering," ujar Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu RI itu.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, Bawaslu dan mitra kerja akan melakukan empat hal, pertama, membentuk satuan tugas yang terdiri atas Kemenkominfo, platform media sosial, penyelenggara pemilu, dan komunitas masyarakat untuk melawan konten kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian.
Kedua, Bawaslu akan berkolaborasi dengan banyak pihak untuk membuat konten yang berisikan informasi valid sebagai upaya melawan konten SARA, hoaks, dan ujaran kebencian. Ketiga, Bawaslu bersama mitra kerja akan terus mengedukasi masyarakat secara masif soal bahaya kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian.
Keempat, Bawaslu dan mitra kerja akan terus melakukan patroli pengawasan siber secara intensif untuk mencegah potensi maupun embrio berkembangnya politisasi SARA, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial.