REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Arkeolog memberikan peringatan soal kelestarian situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Arkeolog khawatir bila arus pengunjung tidak diatur maka situs bisa terancam.
Peringatan ini disampaikan di diskusi publik Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS) bertajuk ‘Situs Gunung Padang dan Budaya Megalitik di Nusantara’, Jumat (27/10/2023). Turut berbicara dalam diskusi tersebut adalah arkeolog sekaligus Chairman CPAS Prof Truman Simanjuntak, arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Lutfi Yondri dan Prof Sutikno Bronto, peneliti sekaligus geolog gunung berapi.
Dr Lutfi Yondri menjelaskan situs Gunung Padang dibangun sederhana. Situs ini berbentuk bukit yang di atasnya mengalami perubahan bentuk oleh warga sekitar. Gunung Padang merupakan bekas gunung api purba yang menyisakan bekuan lava berbentuk balok batu prismatik (columnar joint). Pada sekitar 5.850 tahun yang lalu, arkeolog menemukan bukti, balok balok batu di dalam perut situs itu pernah longsor. Tidak ada konstruksi buatan manusia yang berfungsi untuk menguatkan situs di dalam bukit tersebut.
Ini kemudian berefek pada permukaan tanah di masing-masing teras situs. Situs Gunung Padang memiliki lima teras. Lutfi menemukan, penurunan muka tanah di teras teratas, yang paling kecil, sudah mencapai 12 cm. Apa yang menyebabkan penurunan muka tanah itu? “Karena sering orang menginjak bagian itu,” kata Lutfi.
Menurut dia urgensi sekarang bagi pengelola situs Gunung Padang dan pemda setempat adalah mengatur wisatawan yang berkunjung. Tidak dipungkiri, situs Gunung Padang kini memang menjadi salah satu obyek wisata populer di Cianjur. Namun karena sifat situsnya seperti itu, Lutfi mendorong pemkot untuk mengkaji kapasitas wisatawan yang diperkenankan naik langsung ke situs, maupun manajemen pengunjung. Paling ideal, kata dia, adalah pengunjung tidak boleh menginjak langsung tanah maupun batuan di situs. “Kunjungan harus diatur,” kata dia.
Ia memberi gambaran bilamana situs menjadi terancam. Per harinya ada ratusan orang yang naik dan menginjak langsung situs dan batuan di Gunung Padang. Seandainya ada lima ratusan orang secara bersama-sama di atas situs sementara struktur nya tidak diperkuat beton, melainkan alamiah. “Jadi gampang goyah,” kata Lutfi, memperjelas.
Kemudian, jumlah pengunjung yang ratusan itu juga menambah kepadatan permukaan tanah. Air hujan yang mengguyur Gunung Padang, tidak lagi maksimal diserap tanah. Akhirnya air jadi mengalir di permukaan tanah. Ini menambah potensi tanah terkikis yang kemudian bisa menjadi longsor.
Karena itu, menurut dia, amat penting untuk disusun sebuah rencana menyeluruh pengembangan situs Gunung Padang. Rencana ini mencakup pengaturan kunjungan wisatawan, informasi yang disampaikan, bentuk panduan wisata, paket wisata yang dikembangkan.
Misal seperti, rombongan atau kelompok yang mau naik harus diatur, apakah 25 orang sekali naik. Kemudian menara pandang yang ada saat ini dirubuhkan. Bisa dibuatkan panggung portabel yang mampu menampung 10-25 orang turis di puncak, sehingga pengunjung tidak lagi injak injak langsung ke situs.