REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Surabaya Hesti Armiwulan meminta Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menerapkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam memutuskan kasus dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim konstitusi.
Hesti Armiwulan merupakan anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) bersama dengan 15 guru besar lainnya yang juga merupakan pelapor. Mereka melaporkan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi terkait Putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Walaupun sifatnya (MKMK) itu adalah masih ad hoc tetapi kami mohon majelis yang terhormat MKMK tidak hanya merujuk pada PMK Nomor 1 Tahun 2023, tapi juga merujuk pada undang-undang kekuasaan kehakiman,” kata Hesti dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi dalam Putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK II, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Dia menilai bahwa UU tersebut harus menjadi pijakan MKMK dalam memutuskan kasus dugaan pelanggaran kode etik atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan MK itu tentang batas usia calon presiden/wakil presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Hesti menilai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah membuat kegaduhan dalam "pesta demokrasi" di Indonesia, sehingga UU tentang kekuasaan kehakiman tersebut perlu diterapkan. "Saya kira undang-undang tersebut harus menjadi pijakan dalam MKMK dalam memutuskan kasus yang berkaitan dengan apa yang terjadi dalam putusan nomor 90,” ujarnya.
Dia berharap MKMK memiliki keberanian dalam menjaga muruah dan integritas Mahkamah Konstitusi dengan merujuk pada undang-undang yang menjadi hukum positif di Indonesia. Anggota MKMK Wahiduddin Adams memastikan akan menerima pendapat pemohon, untuk menerapkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di dalam persidangan tersebut.
“Mandat kepada kami patokannya PMK 1 2023, kemudian tidak saja PMK tapi juga UU nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,” kata Wahiduddin.