REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja keuangan PT Timah Tbk (TINS) mengalami penurunan seiring dengan harga logam timah dunia yang terus tertekan akibat penguatan mata uang Amerika Serikat. Selain itu, lambatnya pemulihan perekonomian China dan lemahnya permintaan timah semakin membebani kinerja perseroan.
"Hal tersebut berdampak pada menurunnya ekspor timah Indonesia dari kuartal II 2023 sampai kuartal III 2023, khususnya ekspor timah TINS ke beberapa negara," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Timah Tbk Fina Eliani melalui siaran pers, Selasa (31/10/2023).
Hingga September 2023, perseroan membukukan pendapatan sebesar Rp 6,4 triliun sehingga menghasilkan EBITDA sebesar Rp 708,1 miliar. Sampai dengan kuartal III 2023, TINS mencatatkan rugi tahun berjalan sebesar Rp 87,4 miliar.
Posisi nilai aset perseroan pada kuartal III 2023 sebesar Rp 12,7 triliun, sementara posisi liabilitas sebesar Rp 6,1 triliun, naik 0,9 persen dibandingkan posisi akhir 2022 sebesar Rp 6,0 triliun. Di samping itu, pinjaman bank dan utang obligasi pada kuartal III naik menjadi Rp 2,9 triliun dari sebelumnya Rp 2,8 triliun.
Posisi ekuitas sebesar Rp 6,6 triliun, turun 5,7 persen dibandingkan posisi akhir 2022 sebesar Rp 7,0 triliun. Penurunan ekuitas tersebut seiring dengan pembagian dividen yang sudah dibayarkan sebesar Rp 312,5 miliar.
Di tengah perlambatan ekonomi serta lemahnya permintaan logam timah global, Perseroan konsisten menjalankan efisiensi di segala lini bisnis. "Manajemen optimis target efisiensi akan tercapai dan memberikan kontribusi terhadap kinerja Perseroan," ujar Fina.
Harga jual rerata logam timah sebesar 27.017 dolar AS per metrik ton atau lebih rendah 23 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 35.026 dolar AS per metrik ton.
Hingga kuartal III 2023, TINS mencatatkan ekspor timah 92 persen dengan enam besar negara tujuan ekspor meliputi Jepang 16 persen, Korea Selatan 13 persen, Belanda 11 persen, India sembilan persen, Taiwan sembilan persen dan Amerika Serikat delapan persen.