REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi nirlaba medis Doctors Without Borders (MSF) menyatakan terkejut dan mengecam serangan udara mematikan Israel di kamp pengungsi Jabalia di Gaza, Rabu (1/11/2023).
"Kami ngeri mendapati kabar yang datang dari kamp Jabalia di mana banyak orang meninggal akibat serangan udara Israel. Setelah serangan itu, banyak orang terluka tiba di Rumah Sakit Al-Shifa di mana tim kami membantu memberikan perawatan medis darurat," kata MSF melalui X.
Seorang perawat MSF, Mohammed Hawajreh menceritakan anak-anak kecil tiba di rumah sakit itu dengan luka dalam dan luka bakar yang akut.
"Mereka datang tanpa keluarga mereka. Banyak yang berteriak dan menanyakan orang tua mereka. Saya tinggal bersama mereka sampai kami bisa menemukan tempat karena rumah sakit ini dipenuhi pasien," ujar Hawajreh, juga melalui X.
MSF mengulangi seruan agar segera gencatan senjata guna mencegah jatuhnya korban jiwa lebih banyak di Jalur Gaza, yang menjadi pusat konflik terkini antara Israel dan kelompok Hamas.
“Kami mengutuk episode terbaru kekerasan yang tidak masuk akal ini dan mengulangi seruan kami untuk segera gencatan senjata guna mencegah jatuhnya korban jiwa lebih banyak lagi di Jalur Gaza. Sudah cukup!" kata organisasi tersebut.
Serangkaian pesawat udara Israel menghancurkan seluruh kawasan permukiman yang dikenal sebagai Blok 6 untuk merenggut banyak korban jiwa yang sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Israel memperluas serangan udara dan daratnya di Jalur Gaza sebagai balasan atas serangan Hamas awal Oktober lalu. Lebih dari 10.000 korban tewas dalam konflik tersebut, termasuk 8.525 warga Palestina dan 1.538 warga Israel.
“Para korban termasuk 3.542 anak-anak dan 2.187 perempuan, sementara 21.543 orang lainnya terluka,” kata Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Palestina Ashraf al-Qudra dalam konferensi pers di Kota Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak seruan gencatan senjata dengan dalih langkah itu membuat Israel terlihat menyerah kepada Hamas. Blokade Israel di Jalur Gaza telah memutus pasokan bahan bakar, listrik, dan air ke Gaza, sementara bantuan yang dikirimkan hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan lebih dari dua juta penduduk Gaza.