Rabu 01 Nov 2023 20:17 WIB

Insentif BHP Frekuensi Berdampak Signifikan untuk Pengembangan Teknologi Baru

Ekosistem 5G di Indonesia belum terbentuk.

 Frekuensi 5G.
Foto: EPA-EFE/ALEX PLAVEVSKI
Frekuensi 5G.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kualitas internet di Indonesia dikeluhkan Menkominfo, Budi Arie Setiadi. Dia mengungkapkan kecepatan internet di Indonesia berada di urutan 9 dari 10 negara ASEAN dan peringkat dunia di posisi 98.

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Ridwan Efendi mengatakan, ada tiga langkah yang dapat dilakukan agar internet di Indonesia dapat melesat kencang. Langkah tersebut adalah dengan menambah jumlah kerapatan BTS, menambah jumlah frekuensi yang dimiliki operator dan menerapkan teknologi baru.

Menurut Ridwan menambah jumlah kerapatan BTS di kota besar sudah dilakukan semua operator seluler. Meski demikian kecepatan yang dihasilkan juga belum optimal, sehingga menurutnya pemerintah perlu mempertimbangkan penambahan frekuensi bagi operator selular.

"Karena frekuensi merupakan sumber daya terbatas, tak mudah juga untuk menambah frekuensi yang dimiliki operator telekomunikasi. Selama kurun tiga tahun terakhir, lelang frekuensi yang dilakukan pemerintah sangat minim. Sehingga saat ini pilihannya tinggal menerapkan teknologi baru agar internet dapat ngebut. Saat ini teknologi terbaru yang tersedia adalah 5G,” kata Ridwan.

Untuk dapat menghadirkan 5G dibutuhkan frekuensi rendah (<1Ghz) untuk coverage, frekuensi menegah (2-3Ghz) dan frekuensi tinggi (>26Ghz) untuk kapasitas. Agar operator selular dapat menyediakan layanan 5G, Ridwan mengatakan operator harus memiliki kombinasi frekuensi tersebut. Berdasarkan referensi GSMA, minimal frekuensi untuk menghadirkan layanan 5G sebesar 80Mhz di satu band frekuensi.

Saat ini frekuensi yang tersedia berada di Indonesia berada di 700Mhz dengan lebar pita 2 x 45Mhz dan 26Ghz dengan lebar pita 2000Mhz. Agar kecepatan 5G optimal, menurut Ridwan idealnya lelang frekuensi 700Mhz hanya untuk satu operator saja.

Dengan adanya UU Cipta Kerja, nantinya operator selular dapat menyewa kapasitas yang dimiliki oleh operator pemenang lelang frekuensi 5G. Sedangkan frekuensi 26Ghz bisa untuk banyak operator karena lebar pitanya yang besar. Namun frekuensi tersebut hanya untuk kapasitas saja.

Memang pemerintah bisa melakukan lelang frekuensi untuk layanan 5G kurang dari 80Mhz di pita 700Mhz. Nantinya operator dapat menggunakan teknik agregasi frekuensi yang dimilikinya di spektrum frekuensi yang berbeda. Namun kecepatan yang dihasilkan menurut Ridwan tidak akan optimal.

“Agar masyarakat bisa mendapatkan kecepatan 5G yang optimal, idealnya pemenang lelang frekuensi 700Mhz hanya satu operator. Tentunya diberikan kepada operator yang memiliki komitment membangun yang kuat, punya CAPEX yang cukup untuk menggelar layanan 5G dan jaringan fibernya tersedia di mana-mana. Nantinya operator yang tak menangkan lelang frekuensi 700Mhz dapat menyewa kapasitas dari pemenang tender,” terang Ridwan.

Jika pemerintah tetap ngotot menerapkan BHP frekuensi dengan metode lelang seperti yang saat ini berlaku, padahal kebutuhan frekuensi sangat besar untuk teknologi baru, Ridwan memperkirakan tak ada satu operator selular yang sanggup untuk membayarnya. Apalagi jika operator selular ingin menggembangkan teknologi 5G.

Ridwan melihat di draft PM lelang frekuensi 700Mhz dan 26Ghz adanya potensi penurunan BHP frekuensi. Dengan insentif yang diberikan pemerintah ini akan operator selular memiliki peluang meningkatkan kualitas dan cakupan jaringan yang dimilikinya.

“Beberapa negara sudah memberikan insentif pembebasan BHP frekuensi untuk kurun waktu tertentu. Insentif tersebut diberikan untuk operator yang akan menerapkan teknologi baru," ujar dia.

Ia berkata, China memberikan insentif pembebasan BHP untuk waktu empat tahun. Pemberian insentif selain karena objektifnya pemerintah, alasan lainnya agar operator memiliki kemampuan finansial untuk meningkatkan kualitas layanannya dan mampu mengadopsi teknologi telekomunikasi baru. "Harapannya penggelaran teknologi baru akan semakin cepat,” ucap Ridwan.

Dengan diberikan insentif pembebasan BHP frekuensi, operator selular nantinya memiliki keleluasaan CAPEX. Dengan keleluasaan ini mereka memiliki kemampuan untuk membangun serta meningkatkan kualitas internet di Indonesia. Memang pemberian insentif ini bisa diberikan untuk frekuensi yang baru.

Namun jika objektif pemerintah untuk meningkatkan kualitas internet, Ridwan menyarankan insentif besar harus diberikan ke operator telekomunikasi yang ingin mengembangkan teknologi baru. Ini disebabkan tak semua orang membutuhkan layanan 5G. Selain itu operator yang ingin mengembangkan 5G juga tidak banyak. Apalagi ekosistem 5G di Indonesia belum terbentuk.

“Insentif BHP frekuensi harus diberikan kepada operator yang mengembangkan teknologi baru guna mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas internet. Insentif BHP frekuensi 0% selama kurun waktu tertentu akan efektif untuk mendorong operator mau mendukung program pemerintah dan membentuk ekosistem 5G di Indonesia,” kata Ridwan.

Anggota BRTI periode 2009-2011 mengakui jika dilihat jangka pendek, negara memiliki potensi berkurangnya BHP frekuensi. Karena negara tak mendapatkan uang segar dari lelang frekuensi baru.  

Namun berkurangnya BHP frekuensi ini akan berpotensi memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Dana yang harusnya dipergunakan untuk membayar frekuensi baru dapat dipergunakan operator selular untuk meningkatkan dan mengembangkan jaringan telekomunikasinya.

Dengan internet Indonesia yang ngebut diharapkan memicu pertumbuhnya perekonomian nasional. Dampaknya negara akan mendapatkan peningkatan pajak dan pengangguran serta kriminalitas berkurang. Sehingga efek domino penurunan BHP frekuensi ini jauh lebih signifikan bagi perekonomian nasional.

“Tahun pertama memang pemerintah tak mendapatkan BHP frekuensi. Namun memasuki tahun ke 2 hasil dari insentif BHP frekuensi ini sudah dapat terlihat. Sehingga insentif penundaan pembayaran BHP frekuensi untuk teknologi baru dampaknya instan dan signifikan,” tutup Ridwan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement