ruzka.republika.co.id--Identitas Muslim diekspresikan secara beragam di Indonesia. Ekspresi tersebut menggambarkan dua bentuk orientasi Islam di Indonesia, yaitu Islam Kultural dan Islam Politik.
Islam Kultural adalah orientasi Muslim yang bertujuan memperkuat identitas melalui kebebasan beribadah, penggunaan jilbab, pendidikan Islam, dan peningkatan tema Islam dalam ruang publik.
Sementara itu, Islam Politik adalah orientasi Muslim yang mendukung Islam berkuasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui dukungan pada partai politik dan kandidat Islam, penerapan hukum Islam, serta aksi kolektif membela Islam.
Menurut Ilmi Amalia, mahasiswa Program Studi (Prodi) Doktor Ilmu, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI), studi mengenai ekspresi identitas Muslim menjadi penting karena adanya perdebatan tentang sejauh mana Muslim dapat mengekspresikan identitas mereka dalam konteks sosial, politik, dan masyarakat.
"Ekspresi identitas dapat memberikan kesejahteraan psikologis individu, tetapi juga berpotensi menyebabkan intoleransi, diskriminasi, dan konflik," ujar Amalia dalam siaran pers yang diterima, Kamis (24/08/2023).
Dalam kajian psikologi sosial, ekspresi identitas dibagi menjadi dua fungsi, yaitu konsolidasi identitas (identity consolidation) dan mobilisasi identitas (identity mobilization).
"Ekspresi konsolidasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan menguatkan identitas sebagai Muslim, seperti memakai atribut Islam; sedangkan ekspresi mobilisasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan mengubah keadaan umat Islam, biasanya terkait dengan kekuasaan dan politik.," jelas Amalia.
Lanjut Amalia, perbedaan kedua fungsi tersebut ditentukan oleh tipe identifikasi. Mereka yang menunjukkan kecenderungan tinggi terhadap kelompok akan memiliki interpretasi keislaman totalisme dan akan menunjukkan ekspresi identitas konsolidasi.
"Adapun pada tipe identifikasi, glorifikasi kelompok memengaruhi ekspresi mobilisasi. Identifikasi dengan kelompok yang menekankan superioritas akan mendorong pada bentuk ekspresi yang mengubah status Islam pada sistem sosial yang lebih luas," ungkapnya.
Terkait hal ini, Ilmi Amalia menilai bahwa penelitian yang dilakukannya memiliki implikasi praktis bagi berbagai pihak. Bagi para pengambil kebijakan di pemerintahan, perlu disadari bahwa mengeskpresikan identitas adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari identitas.
Ekspresi konsolidasi dan mobilisasi akan selalu ada di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memfasilitasi dan mengakomodasi kedua bentuk ekspresi tersebut selama tidak melanggar norma hukum yang berlaku.
Kedua, masyarakat perlu memperbanyak aktivitas serta meningkatkan kualitas kontak antar pemeluk agama sehingga bentuk ekspresi identitas tidak mengarah pada perilaku intoleran atau konflik antarkelompok.
Bentuk kontak antarkelompok agama dapat diwujudkan melalui jalinan pertemanan dengan kelompok agama lain. Terakhir, mengenai identifikasi glorifikasi, hal ini dipandang dapat memunculkan ekspresi intoleran dan mengganggu hubungan antarkelompok.
Hasil riset menunjukkan bahwa narasi perdamaian dapat menurunkan glorifikasi kelompok pada konteks konflik. Untuk menurunkan identifikasi glorifikasi agama, figur otoritas agama dapat menyosialisasikan narasi alternatif yang mendorong pluralisme dan moderasi beragama.
Pengambil kebijakan melalui Kementerian Agama juga berperan untuk menyosialisasikan moderasi beragama ke sekolah dan instansi-instansi pemerintah.
Berkat penelitian berjudul “Ekspresi Identitas Muslim: Peran Tipe Identifikasi, Totalisme Islam, dan Kontak Antarkelompok sebagai Moderator” ini, Ilmi Amalia memperoleh gelar doktor dari Fakultas Psikologi UI. (Rusdy Nurdiansyah)