REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza "sama sekali tidak mencukupi" di tengah kondisi yang memburuk di Jalur Gaza. Guterres mengakui bahwa eskalasi yang tetap tinggi di Gaza, akan membawa 'penderitaan yang luar biasa' bagi warga sipil, dan ia memperingatkan potensi menyebarnya konflik membawa eskalasi ke regional.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, (31/10/2023), Guterres menegaskan kembali bahwa kebutuhan kemanusiaan di Gaza jauh melampaui yang diizinkan masuk. Truk-truk bantuan telah mengalir masuk ke Gaza dari Mesir selama sepekan terakhir melalui Rafah, perlintasan utama, yang tidak berbatasan dengan Israel. Saat sebelum perang, sekitar 500 truk yang membawa bantuan dan barang-barang lainnya memasuki Gaza setiap harinya.
Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, John Kirby, mengatakan pada hari Selasa bahwa 66 truk bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza dalam 24 jam terakhir. Lembaga bantuan ingin bantuan mencapai 100 truk per hari, kata Kirby. Guterres juga menyuarakan keprihatinannya atas eskalasi militer ketika Israel meningkatkan serangan darat di Gaza dan terus membombardir wilayah yang terkepung tersebut.
"Saya sangat khawatir dengan meningkatnya konflik antara Israel dan Hamas dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina lainnya di Gaza," kata Guterres.
"Dengan banyaknya nyawa warga Israel dan Palestina yang telah melayang, eskalasi ini hanya akan menambah penderitaan warga sipil."
Gaza menjadi 'kuburan bagi ribuan anak-anak'
Kenyataan tersebut muncul ketika Israel melanjutkan pemboman tanpa henti di Gaza. Gempuran bom membanjiri rumah sakit-rumah sakit yang menambah jumlah korban jiwa dan luka-luka.
Dan mencapai titik puncaknya akibat pengepungan yang dilakukan oleh Israel, ketika Israel yang telah membatasi pasokan air, bahan bakar, dan listrik. Otoritas Palestina mengatakan bahwa lebih dari 8.500 orang telah terbunuh di Gaza, lebih dari sepertiganya adalah anak-anak, sejak perang meletus pada tanggal 7 Oktober.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa (31/10/2023), juru bicara United Nations Children's Fund (UNICEF) James Elder mengatakan bahwa Gaza telah menjadi "kuburan bagi ribuan anak-anak".
Sebuah serangan udara Israel pada hari Selasa meratakan seluruh bagian kamp pengungsi Jabalia, menewaskan sejumlah orang dan melukai lebih dari 100 orang lainnya, menurut kementerian kesehatan Gaza. Direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza mengatakan kepada Al Jazeera bahwa lebih dari 50 orang tewas.
Nebal Farsakh, juru bicara dari Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina, menyebut situasi tersebut benar-benar mengerikan."Rumah sakit sudah kewalahan, dan mereka hampir tidak bisa menangani jumlah korban yang terus bertambah setiap jamnya," kata Farsakh kepada Al Jazeera.
"[Mereka] bekerja dengan kapasitas penuh. Hal ini terjadi pada saat yang sama ketika semua rumah sakit benar-benar runtuh karena kekurangan pasokan medis dan obat-obatan, dan mereka kehabisan bahan bakar, yang sangat dibutuhkan".
Berbicara di hadapan Dewan Keamanan PBB pada hari Selasa, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi mendesak dewan untuk mendorong gencatan senjata guna mengakhiri "spiral kematian".
Amerika Serikat sejauh ini mendukung Israel dan menolak seruan gencatan senjata, dengan mengatakan bahwa penghentian pertempuran akan menguntungkan Hamas.
"Kami percaya bahwa kita harus mempertimbangkan hal-hal seperti jeda kemanusiaan untuk memastikan bahwa bantuan dapat sampai kepada mereka yang membutuhkan dan orang-orang dapat dilindungi dan keluar dari bahaya," ujar Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah sidang dengar pendapat di Kongres.
Berbicara pekan lalu, Guterres menyebut sejumlah kecil bantuan yang diizinkan masuk ke Gaza dari penyeberangan Rafah dengan Mesir sebagai "setetes bantuan di tengah lautan kebutuhan".