REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan syariah memiliki berbagai tantangan pertumbuhan di berbagai belahan dunia. Beberapa menghadapi masalah yang sama.
Di Turki, lebih dari 95 persen dari sekitar 83 juta populasi adalah Muslim tetapi penetrasi keuangan Islam di negara itu disebut masih sangat rendah.
Padahal porsi bank partisipasi atau umumnya dikenal sebagai bank Islam di Turki telah melampaui pertumbuhan bank konvensional dalam beberapa tahun terakhir seiring volatilitas pasar keuangan meskipun masih kecil dalam sisi aset
Salah satu warga Istanbul yang ditemui Republika, Ufuk Turan mengaku belum tertarik menggunakan bank yang berdasarkan asas syariah. Saat ini, ia masih menabung di salah satu bank konvensional milik Pemerintah Turki.
"Karena hukum dan ketentuannya sama saja, jadi saya masih menggunakan bank umum," ujarnya kepada Republika.
Dikonfirmasi terpisah, Gokhan pria asal Antalya pun menyampaikan hal yang sama. Ia dan keluarga besarnya pun masih menggunakan bank konvensional. Menurutnya, lebih mudah menggunakan layanan bank konvensional. Ia bahkan mengaku kurang begitu suka dengan segala hal yang disangkutpautkan dengan agama.
"Lebih mudah saja sebenarnya, saya lebih memilih menggunakan bank umum," ucap Gokhan.
Sebenarnya, alasan kedua warga Turki yang lebih nyaman menggunakan bank umum tersebut lantaran Turki merupakan negara yang menerapkan konsep sekulerisme, di mana negara menjadi netral menyangkut soal agama. Negara tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama.
Paham sekuler pertama kali dikenalkan pemerintahan Ataturk pada 1928. Konstitusi masa ini menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa agama negara adalah Islam. Pada saat yang sama, Turki juga mengganti struktur hukum Islam.
Kebijakan sekuler progresif Turki adalah mengubah penulisan nasional yang semula menggunakan huruf Arab menjadi alfabet latin, menghapus pengadilan dan sekolah agama, hingga mengubah sistem kalender Islam menjadi masehi. Sekulerisme ala Turki adalah sekulerisme pasif yang berjalan dengan modernisasi agama.
Sekulerisme pasif di Turki diartikan sebagai paham di mana negara memposisiskan secara adil agama yang ada. Hal ini dilakukan untuk menghormati kepercayaan dan keyakinan beragama di negara tersebut. Akan tetapi, bukan berarti agama harus absen di ruang publik, tetapi negara menjaga netralitas terhadap agama dan memberi kesempatan yang sama kepada agama-agama yang ada untuk berpartisipasi dalam urusan publik.
Terkini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang sudah memimpin Turki dalam tiga dekade telah menumbuhkan loyalitas yang mendalam dari para pendukung konservatif dan religius dengan mengangkat nilai-nilai Islam di negara yang dipimpin oleh sekularisme selama hampir satu abad.
Dalam sektor perbankan bahkan diprediksi aset perbankan syariah di Turki akan berlipat ganda dalam 10 tahun karena inisiatif pemerintah mendorong pertumbuhan sektor ini. Pemerintah Turki mendirikan tiga bank syariah milik negara baru sejak 2015 hingga 2019 guna memperluas akses dan meningkatkan persaingan.
Bahkan pada 2020 Badan Regulasi dan Pengawasan Perbankan negara (BDDK) memberikan lisensi perbankan kepada Turkiye Emlak Katilim Bankası (Emlak Bank), menjadikan jumlah bank syariah sebagai bank partisipasi lokal. Ada lima bank syariah lainnya adalah Ziraat Bankasi dan Vakif Bank yang dikendalikan oleh negara bersama dengan Albaraka Turk, Kuveyt Turk, yang mayoritas dimiliki oleh Kuwait Finance House dan Turkiye Finans.
Di Indonesia, kondisi literasinya juga masih terus perlu ditingkatkan. Pertumbuhan bisnis perbankan syariah di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan yang positif. Bahkan, secara perlahan dan pasti ekonomi syariah makin dikenal masyarakat.
Muhammad (32), ia mengaku masih belum tertarik berhijrah menjadi nasabah bank syariah lantara..