REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier meminta maaf atas pembunuhan di Tanzania selama pemerintahan kolonial Jerman. Dia berjanji untuk meningkatkan kesadaran akan kekejaman di negaranya, sebagai langkah menuju penyembuhan komunal dari masa lalu yang berdarah.
“Saya ingin meminta maaf atas apa yang dilakukan orang Jerman terhadap nenek moyang Anda di sini,” kata Steinmeier saat berkunjung ke Museum Maji Maji di Kota Songea, Tanzania selatan, dilaporkan Aljazirah, Rabu (1/11/2023).
Tanzania menderita di bawah pemerintahan kolonial Jerman selama beberapa dekade sebelum dan sesudah awal abad ke-20, dan menjadi salah satu pemberontakan paling mematikan di wilayah tersebut dari 1905 hingga 1907. Selama pemberontakan, yang dikenal sebagai Pemberontakan Maji Maji, antara 200 ribu dan 300 ribu masyarakat adat dibunuh. Pasukan Jerman secara sistematis memusnahkan desa dan ladang.
Pada 2017, Pemerintah Tanzania saat itu sedang mempertimbangkan tindakan hukum untuk meminta kompensasi dari Jerman bagi orang-orang yang kelaparan, disiksa, dan dibunuh oleh pasukannya. Steinmeier mengatakan, Jerman siap untuk memulai “pemrosesan komunal” terhadap masa lalu, ketika ia bertemu dengan keturunan pemimpin pemberontakan era kolonial yang dieksekusi.
“Apa yang terjadi di sini adalah sejarah kita bersama, sejarah nenek moyang Anda dan sejarah nenek moyang kita di Jerman,” kata Steinmeier.
Steinmeier mengatakan, Jerman juga akan berupaya menemukan dan mengembalikan tengkorak pemimpin era kolonial yang dieksekusi, Kepala Suku Songea Mbano, dan jenazah lainnya yang dijarah dan dibawa ke Berlin lebih dari satu abad yang lalu.Dalam kunjungan tersebut, Steinmeier meletakkan bunga di makam Kepala Suku Songea, yang disebutnya sebagai “pemimpin pemberani”.
John Mbano, keturunan Kepala Suku Songea yang bertemu dengan presiden Jerman, menyambut baik sikap tersebut. Mbano berharap Tanzania dapat membangun hubungan yang kuat dengan Jerman.
“Kami telah menangis selama bertahun-tahun, sekaranglah waktunya untuk mengakhiri tangisan kami,” kata Mbano.
Komitmen jangka panjang Jerman terhadap kenangan sejarah berpusat pada kekejaman yang dilakukan selama Perang Dunia Kedua, khususnya pembantaian 6 juta orang Yahudi dan kelompok minoritas lainnya selama Holocaust.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Jermanik mulai berdamai dengan beberapa kekejaman era kolonial, termasuk di Tanzania dan Namibia. Pembunuhan massal suku Herero dan Nama di Nigeria yang dilakukan Jerman pada awal 1900-an telah disebut sebagai genosida pertama di abad ke-20.
Pada 2021, Jerman mengumumkan perjanjian dengan Namibia yang secara resmi akan mengakui pembantaian massal di era kolonial sebagai genosida dan memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang terkena dampak, tanpa menawarkan reparasi formal. Perjanjian tersebut, yang menimbulkan kekhawatiran dari beberapa kelompok yang mewakili masyarakat Herero dan Nama.
Museum Prasejarah dan Sejarah Awal Berlin telah melakukan penelitian terhadap sekitar 1.100 tengkorak yang dijarah dari Afrika Tidur Jerman, dan dibawa ke Jerman. Pada September, para peneliti telah menemukan kerabat hidup dari orang-orang yang tengkoraknya dijarah di Tanzania.
Afrika Timur Jerman, yang sekarang dikenal sebagai Tanzania, Rwanda dan Burundi, ada sejak 1885 hingga kekalahan Jerman pada akhir Perang Dunia Pertama, ketika negara tersebut kehilangan koloninya berdasarkan Perjanjian Versailles.