REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Siti Aminah, berpendapat elektabilitas Capres-Cawapres yang kerap dirilis lembaga-lembaga survei tidak bisa dijadikan tolok ukur yang relevan untuk menyimpulkan calon tertentu lebih unggul dan layak dipilih. Bahkan, menurut dia, tidak jarang juga dijadikan calon tertentu untuk mengecilkan hati dari pesaingnya.
"Elektabilitas dari survei-survei sering digunakan untuk menutupi prasangka halus dengan mengecilkan hati kandidat yang tampil berbeda dari kandidat yang lebih tradisional atau lebih, dalam bidang yang lain," kata Aminah, Kamis (2/11/2023).
Aminah meyebut, elektabilitas kerap kali disalahgunakan untuk memanipulasi atau mengacaukan pilihan calon pemilih. Sebab, tidak sedikit juga konstituen yang berasumsi, ketika hasil survei elektabilitas salah satu pasangan calon tinggi, artinya mereka lebih layak dipilih dibanding lawannya.
"Dapat dianalogikan bahwa mereka (yang elektabilitasnya tinggi) mengklaim dirinya lebih unggul daripada lainnya dalam hal kebaikan, kreativitas, atau memproduksi janji-janji politik dalam kampanye," ujarnya.
Pengamat politik lainnya, Irfa’i Afham menyoroti janji-janji kampanye Capres-Cawapres dan Caleg yang terkadang tidak dapat direalisasikan. Bahkan, kata dia, seringkali janji yang dikampanyekan terkesan tidak realistis untuk direalisasikan, dan hanya bertujuan untuk meraih sebanyak-banyaknya suara pemilih.
Irfa’i mengatakan, hal tersebut sebenarnya merupakan fenomena biasa yang kerap terulang, namun tidak boleh dinormalisasi. Menurutnya, dalam menghadapi maraknya kampanye bohong ini, penting untuk meningkatkan literasi politik masyarakat.
"Literasi politik membantu para pemilih untuk memahami isu-isu politik aktual, aktor-aktor politik, dan partai-partai politik. Literasi politik juga membantu masyarakat memahami makna penting representasi politik," kata Irfa’i.