REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Seorang peneliti dan pengembang perangkat lunak yang berbasis di Berlin melakukan perlawanan setelah X, sebelumnya Twitter, menangguhkan akunnya. Peneliti yang aktif mengkiritisi X di bawah kepemilikan Musk ini juga mengklaim bahwa dari hasil penelitian yang dia lakukan ditemukan platform telah melanggar persyaratan layanan perusahaan.
Peneliti bernama Travis Brown itu banyak menyoroti pelaporan yang menggambarkan X sering mengalami kekacauan. Brown mengerjakan proyek open source di Twitter selama setahun sebelum masa jabatan Musk. Setelah pembelian Musk, ia mulai meneliti ujaran kebencian dan penangguhan akun di platform tersebut, mengumpulkan data X melalui perangkat lunak yang ia buat bersama dengan Open Knowledge Foundation, sebuah organisasi nirlaba transparansi data.
Brown mengumumkan rencananya untuk berjuang memulihkan akunnya di X dengan dukungan dari HateAid, sebuah organisasi Jerman yang memerangi kekerasan digital. Dengan bantuan kelompok tersebut, Brown memenangkan perintah pengadilan dan akunnya dipulihkan untuk pertama kalinya, meskipun X tampaknya sedang menyiapkan dukungan dari firma hukum untuk pertarungan ini.
Perusahaan platform tersebut mengajukan dokumen setebal 36 halaman dalam upaya untuk mengakhiri tantangan hukum lain dari Brown, yang kini mengajukan banding atas penolakan Pengadilan Distrik Berlin terkait permintaannya untuk memberikan perintah lain.
“Tindakan X adalah upaya untuk membungkam para peneliti yang memantau ekstremisme dan disinformasi di platform tersebut,” kata Brown, dengan alasan bahwa langkah X membuat platform tersebut “semakin berbahaya.”
“Namun, kami tidak akan tinggal diam, dan akan terus mengumpulkan dan berbagi data, karena kita semua berhak memahami dampak platform ini terhadap dunia kita,” kata Brown, dikutip dari Tech Crunch, Jumat (3/11/2023).
Seperti diberitakan Wired, Brown awalnya diskors tanpa peringatan dari X pada awal Juli. Akunnya kembali bisa dipakai setelah perintah pengadilan pada bulan September tetapi kemudian dinonaktifkan lagi. Perusahaan mengubah persyaratan layanannya pada bulan yang sama dan menambahkan peringatan untuk peneliti seperti Brown: “CATATAN: memeriksa atau menghapus Layanan dalam bentuk apa pun, untuk tujuan apa pun tanpa izin tertulis sebelumnya dari kami dilarang secara tegas.”
Frasa tersebut dianggap mencerminkan kebencian Musk terhadap ElonJet, akun pelacakan yang dilarang pada hari-hari awal pengambilalihan Musk. Penelitian Brown menjadi sorotan ketika Musk mengotak-atik kebijakan lama Twitter dan memangkas jummlah karyawan perusahaan.
Desember lalu, Musk membatalkan pemblokiran sejumlah akun yang telah lama diblokir, termasuk tokoh neo-Nazi Andrew Anglin, yang mendirikan situs supremasi kulit putih The Daily Stormer. Brown melacak “pembatalan larangan massal” X pada saat itu, menyusun daftar pembalikan penangguhan yang mencakup jumlah pengikut dan tanggal penangguhan asli.
Data Brown juga telah dikutip secara luas dalam laporan mengenai jumlah pelanggan berbayar X, yang tidak diungkapkan secara terbuka oleh perusahaan. Pada November 2022, X telah mengubah sekitar 140 ribu pengguna ke layanan berbayarnya, yang saat itu dikenal sebagai Twitter Blue. Menurut perkiraan Brown, X Premium, Twitter Blue versi Musk yang dirombak — memiliki sekitar 890 ribu pelanggan pada September 2023. Data Brown juga menjadi dasar pelaporan yang menyoroti popularitas cek biru berbayar Twitter di kalangan tokoh sayap kanan dan ekstremis seperti nasionalis kulit putih. Richard Spencer, yang mengorganisir rapat umum Unite the Right.
Kasus X dengan Brown hanyalah salah satu contoh perjuangan perusahaan tersebut melawan organisasi yang melakukan penelitian tentang ekstremisme di platform tersebut. X saat ini juga diketahui menggugat Center for Countering Digital Hate (CCDH), menuduh kelompok anti-kebencian tersebut mengurangi pendapatan iklannya dengan melaporkan lonjakan ujaran kebencian di bawah kepemimpinan Musk. Dalam gugatannya, perusahaan tersebut membuat klaim serupa bahwa CCDH secara ilegal memperoleh data yang digunakan sebagai dasar penelitiannya.
“Sangat berbahaya jika penelitian dan pelaporan independen di jejaring sosial tidak lagi dilakukan. Kami mendukung kasus Travis Brown ini atas nama semua peneliti yang mempublikasikan apa yang terjadi di balik layar platform,” kata CEO HateAid Anna-Lena von Hodenberg.