REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah meminta pondok pesantren menunjukkan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terwujud dalam simbolisasi dokumen akademik dan kurikulumnya. Sebagai bagian dari itu, ijazah yang dikeluarkan pondok pesantren harus mencantumkan lambang negara Indonesia, yaitu burung garuda. Selain itu pondok pesantren juga harus mengakomodir pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dalam kurikulumnya.
Direktur Pesantren Modern Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM), Nyai Amrah Kasim mengatakan, lambang negara dalam ijazah pesantren adalah representasi rekognisi pemerintah kepada pendidikan non formal pesantren. Terkait kesetiaan terhadap empat pilar kebangsaan dan komitmen moderasi beragama.
"Pencantuman lambang negara dalam ijazah pesantren sudah diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2020, pada pasal 26 Ayat 2 disebutkan bahwa ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren harus mencantumkan lambang negara di bagian paling atas, sebagaimana format yang dicontohkan," kata Nyai Amrah dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (4/11/2023).
Nyai Amrah menjelaskan, pesantren memiliki kebebasan penuh menentukan segalanya. Mulai dari kurikulum, sistem, hingga manajemennya. Akan tetapi tetap dalam bingkai kesetiaan kepada negara Republik Indonesia.
Anggota Majelis Masyayikh ini menegaskan, kesetiaan kepada negara Indonesia sebenarnya menjadi kewajiban semua elemen bangsa ini, termasuk pondok pesantren yang kurikulumnya berbasis kitab-kitab kuning. Keberadaan pesantren cerminan Islam rahmatan lil alamin.
Ia mengingatkan, pesantren sudah lama menjadi elemen pendidikan nasional yang berkontribusi besar mendidik anak-anak bangsa sejak era sebelum kemerdekaan.
"Alumni pesantren secara personal dan lembaga pesantren secara institusional memiliki rekam jejak kuat dalam mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan," ujar Nyai Amrah.
Nyai Amrah menjelaskan, di sisi lain terdapat pesantren-pesantren yang mendapat pengaruh transnasionalisme Islam. Sehingga tidak mengakui kedaulatan negara, melarang upacara bendera, dan menilai pemerintah thaghut.
"Majelis Masyayikh akan terus berkomitmen menjaga pesantren agar tetap menjadi tempat yang mengedepankan ajaran Islam yang damai, dan jika ada kekerasan atau radikalisme di pesantren itu kita (Majelis Masyayikh) pertanyakan, karena itu bertentangan dengan Undang-Undang Pesantren,” jelas Nyai Amrah.
Majelis Masyayikh adalah lembaga induk penjaminan mutu pesantren yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1154 Tahun 2021 tentang Majelis Masyayikh dan menetapkan sembilan orang anggota dari unsur pesantren di Indonesia. Pembentukan Majelis Masyayikh menjadi konsekuensi dari pengakuan pemerintah sepenuhnya terhadap pesantren, sehingga pesantren harus dapat menjaga mutunya secara mandiri.