REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, untuk membahas situasi yang semakin mencekam di Gaza, Ahad (5/11/2023). Namun, dalam pertemuan itu, baik Abbas maupun Blinken tidak terlihat saling menyapa di depan kamera. Mereka juga tidak mengeluarkan pernyataan publik.
Koresponden Aljazirah, Bernard Smith melaporkan dari Ramallah, menyatakan, pertemuan antara Blinken dan Abbas berlangsung kurang dari satu jam. “Tidak ada pernyataan di akhir pertemuan dari kedua belah pihak. Yang kita tahu Abbas akan meminta gencatan senjata seperti yang telah diminta para pemimpin Arab lainnya. Namun Blinken menolak permintaan tersebut dan akan melakukan hal yang sama terhadap Abbas,” kata Smith.
Blinken terlibat dalam tantangan diplomatik lainnya pada Ahad ketika ia bertemu Abbas di Ramallah. Ini adalah perjalanan pertama Blinken ke wilayah pendudukan Tepi Barat sejak perang dimulai.
Departemen Luar Negeri AS merahasiakan kunjungan tersebut dan menolak mengonfirmasinya hingga Blinken secara fisik meninggalkan Tepi Barat. Namun berita kedatangannya tetap bocor, sehingga memicu demonstrasi menentang kunjungan tersebut dan dukungan AS terhadap Israel di wilayah pendudukan.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller mengatakan, Blinken telah menegaskan kembali komitmen AS untuk memastikan bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa dan layanan penting di Gaza. Miller menekankan, warga Palestina tidak boleh dipindahkan secara paksa.
"Blinken dan Abbas juga berbicara tentang upaya untuk memulihkan ketenangan dan stabilitas di Tepi Barat, termasuk dengan menghentikan kekerasan ekstremis terhadap warga Palestina," kata Miller, mengacu pada kekerasan yang dilakukan oleh pemukim Israel.
Sebelumnya, Blinken mengatakan, Otoritas Palestina (PA) dapat memainkan peran pemerintahan di Gaza di masa depan sebagai jalan keluar dari konflik tersebut. Namun tidak diketahui apakah topik tersebut dibahas dalam diskusinya dengan Abbas.
Meningkatnya korban jiwa di Gaza telah membuat upaya diplomatik AS berada di bawah pengawasan lebih lanjut oleh sekutu-sekutu Arabnya, yang semakin frustrasi dengan memburuknya situasi kemanusiaan di wilayah Palestina yang terkepung. Israel, yang melanjutkan serangan militernya di Gaza, yang menyebabkan lebih dari 50 orang gugur dalam serangan udara pada Sabtu (4/11/2023) malam.
Dalam konferensi pers di Amman, Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi menekankan, negara-negara Arab menginginkan gencatan senjata secepatnya. Dia memperingatkan seluruh kawasan sedang tenggelam dalam lautan kebencian yang akan menentukan generasi mendatang.
“Kami tidak menerima bahwa ini pembelaan diri,” kata Safadi, merujuk pada serangan Israel selama sebulan di Gaza yang telah menyebabkan 9.488 warga Palestina meninggal dunia, dan lebih dari sepertiganya adalah anak-anak.
“Hal ini tidak dapat dibenarkan dengan dalih apa pun dan tidak akan membawa keamanan bagi Israel, tidak akan membawa perdamaian di kawasan," kata Safadi.
Blinken mengatakan, AS menentang gencatan senjata karena akan memberi ruang bagi Hamas untuk melakukan serangan. “Menurut pandangan kami sekarang bahwa gencatan senjata hanya akan membuat Hamas tetap bertahan, mampu berkumpul kembali dan mengulangi apa yang mereka lakukan pada tanggal 7 Oktober,” kata Blinken, merujuk pada serangan mengejutkan Hamas ke Israel selatan.
Blinken mencoba mengambil risiko diplomatik selama kunjungan ketiganya ke wilayah tersebut dalam kurun waktu satu bulan. Dia mendorong Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menerima jeda kemanusiaan sementara, dan mendesak perlindungan warga sipil Palestina.
Para pemimpin Arab mengatakan, seruan jeda kemanusiaan yang dilontarkan Blinken dianggap terlalu lemah. Usulan Blinken ini ditolak oleh Netanyahu yang bersikeras bahwa serangan Israel harus dilanjutkan dengan kekuatan penuh.