Senin 06 Nov 2023 15:43 WIB

Dipicu Kontroversi Putusan MK, Pemilih Rasional Bisa Dukung Ganjar-Mahfud

MK membolehkan kepala daerah yang dipilih lewat pemilu untuk mencalonkan diri.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang pembacaan putusan UU Pemilu di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta,  Senin (23/10/2023).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang pembacaan putusan UU Pemilu di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (23/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi menilai, wajar jika pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) dibanjiri kritik dari para pegiat demokrasi. Menurut Ade, mereka gerah dengan 'permainan' di Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Gibran bisa maju pada Pilpres 2024. 

"Ada banyak kritik dari para penggiat demokrasi dan kalangan intelektual terhadap kecenderungan Presiden Jokowi yang terkesan mendukung Prabowo yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka yang juga putra presiden," kata Ade dalam siaran pers di Jakarta dikutip Senin (6/11/2023).

Pada medio Oktober 2023, MK mengeluarkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang  merevisi aturan mengenai syarat usia bagi capres dan cawapres dalam UU Pemilu. Tak lagi harus berusia 40 tahun, MK membolehkan kepala daerah yang dipilih lewat pemilu untuk mencalonkan diri. 

Saat putusan itu diketok oleh Ketua MK Anwar Usman, Gibran genap berusia 36 tahun. Anwar saat ini berstatus sebagai besan Jokowi alias paman Gibran. Kebanyakan pakar menilai Jokowi ikut cawe-cawe dalam putusan yang meloloskan Gibran itu.  

"Dalam konteks itu, pemilih rasional akan cenderung kritis melihat fenomena (skandal MK) tersebut. Namun, tidak otomatis mereka akan menjatuhkan pilihan politiknya terhadap Ganjar Pranowo-Mahfud MD," kata Ade.

Saat ini, Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) sedang dalam proses menyidangkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Anwar dan hakim MK lainnya dalam putusan nomor 90. Hasil akhir dari sidang itu, kata Ade, berpeluang membuat para pegiat demokrasi yang sebelumnya turut memenangkan Jokowi selama dua periode untuk ramai-ramai bergeser ke Ganjar-Mahfud. 

"Nalar kritis pemilih rasional ini akan menjadi peluang elektoral bagi Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Selain itu, koalisi pendukung Ganjar-Mahfud MD harus mampu membangun isu dan sikap politik yang kontras dengan sejumlah kebijakan pemerintahan yang juga menjadi sasaran kritik pemilih rasional yang menggunakan nalar kritis dan perspektif demokrasi," kata Ade.

Pasangan Ganjar-Mahfud kerap diibaratkan sebagai antitesis pasangan Prabowo-Gibran yang disokong Jokowi di balik layar. Pasalnya, Mahfud ditunjuk sebagai pasangan Ganjar, meskipun elektabilitasnya masih kecil di beragam survei. Ganjar juga seharusnya mendapat suntikan elektabilitas jika Jokowi mendukungnya pada Pilpres 2024. 

Berdasarkan Hasil Survei Charta Politika Indonesia periode 26-31 Oktober 2023, sebanyak 48,9 persen responden menilai Gibran tidak pantas menjadi cawapres mendampingin Prabowo Subianto. Dari jumlah itu, sebanyak 55,4 persen menilai Gibran masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman menjadi pejabat publik.

Selain itu, mayoritas responden 59,3 persen menyatakan tidak setuju dengan praktik politik dinasti. Pun responsen menyebut pencalonan Gibran yang merupakan anak Presiden Joko Widodo sebagai bentuk dinasti politik sebanyak 49,3 persen.

Ade menilai isu politik dinasti saat ini masih jadi diskursus di kalangan elit. Kebanyakan masyarakat tak punya perhatian khusus terkait itu lantaran tak langsung bersentuhan dengan mereka. "Akibat adanya masalah konkret dalam masyarakat sendiri," ucap Ade.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement