Senin 06 Nov 2023 17:18 WIB

Prasangka Baik dalam Demokrasi

Secara psikologis, demokrasi adalah kewaspadaan kolektif masyarakat.

Red: Fernan Rahadi
Demokrasi Indonesia (ilustrasi)
Foto: republika
Demokrasi Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aad Satria Permadi (Dosen Psikologi Politik, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS))

 

Sebagai orang yang selalu mengkritisi Jokowi sejak 2014, saya sampai iba melihat tangisan Goenawan Mohamad (GM) saat diwawancarai oleh Rosiana Silalahi (Rosi). GM terlihat sangat kecewa kepada Presiden Jokowi. Dalam wawancara yang dihelat oleh Kompas TV, GM menganggap prasangka baik (khusnudzon)-nya telah disalahgunakan oleh Presiden Jokowi untuk membentuk dinasti politik. Lalu perasaan GM tersebut disimpulkan dengan baik sekali, “tidak ada yang salah dengan khusnudzon, yang salah adalah yang menyalahgunakan prasangka baik tersebut”. Paling tidak, begitulah kesimpulan obrolan mereka berdua. 

Khusnudzon, Pseudo-Khusnudzon, dan Kewaspadaan

Khusnudzon adalah terma populer dalam agama Islam. Khusnudzon dimaknai secara sosiologis sebagai berprasangka baik kepada orang lain. Kalau diartikan dengan lebih mendalam, maksudnya adalah mampu memaknai secara positif perilaku orang lain yang secara dzahir tampak buruk. 

Namun,  Islam juga tidak membenarkan khusnudzon jika bertentangan dengan fakta atau ilmu pengetahuan. Misalnya, seorang anak menisbatkan namanya kepada seseorang. Akan tetapi setelah tes DNA, ternyata terbukti orang tersebut bukan ayahnya. Maka mengatakan bahwa si anak adalah anak orang tersebut atas dasar khusnudzon, adalah kebodohan. 

Yang jadi persoalan adalah, khusnudzon sering dijadikan alasan untuk menolak kenyataan yang tidak menyenangkan. Jika menggunakan contoh anak yang tidak lolos tes DNA di atas, bisa jadi, anak tersebut tetap di-khusnudzoni sebagai anak kandung, hanya karena tidak nyaman dengan status sebagai “anak pungut”. Untuk menghindari rasa tak nyaman menyebut “anak pungut”, maka dimunculkanlah khusnudzon palsu atau Pseudo-Khusnudzon seperti, “mungkin saja hasil tesnya salah”, atau “tes DNA buatan Yahudi. Sengaja dibuat untuk merusak hubungan kekerabatan umat Islam”, dan lain sebagainya. Demi meng-khusnudzon-i kekerabatan seseorang, maka sampai menolak fakta ilmiah. 

Khusnudzon juga tidak berlaku jika terjadi keumuman pola yang sudah dikenali secara ilmiah. Misalnya, pihak kepolisian menerangkan modus operandi sebuah kejahatan. Jika seseorang menjauhi atau berperilaku defensif terhadap orang-orang yang bersesuian dengan modus operandi yang diuraikan oleh pihak kepolisian, maka itu bukanlah perilaku su’udzon (buruk sangka). Itulah yang disebutkan Islam sebagai kewaspadaan. Kewaspadaan adalah sikap mental pertengahan antara khusnudzon dan su’udzon. Sikap ini justru dianjurkan oleh Islam agar tidak terjebak dalam khusnudzon palsu, dan terhindar dari kebodohan. Seperti yang disampaikan oleh para kiai di pesantren, bahwa khusnudzon di akhir zaman ini sebenarnya muncul dari kebodohan, bukan dari ketetapan ilmu. Singkatnya, khusnudzon pada dasarnya tunduk kepada ketetapan ilmu, fakta, dan pola-pola sejarah. Khusnudzon yang muncul tanpa ketiga hal tersebut adalah pseudo-khusnudzon.

Demokrasi adalah Psikologi Kewaspadaan

Secara psikologis, demokrasi adalah kewaspadaan kolektif masyarakat. Awalnya, manusia membaca pola sejarah bahwa jika seseorang diberikan kekuasaan yang absolut, maka ia akan menjadi sangat korup. Inilah yang dimaksud oleh Lord Acton (1834-1902) ketika mengatakan “power tends to corrup, absolut power corrupt absolutely”. Kita dapat melihat dalam sejarah muncul dan tenggelamnya pemimpin-pemimpin otoriter dunia seperti Hitler dan Mussolini. Bagaimana mereka menjadi penindas setelah memperoleh kekuasaan yang absolut. Padahal sebelumnya, mereka adalah pahlawan bagi rakyatnya. 

Pernyataan Lord Acton ini pun diamini oleh umat Islam yang paham nubuwat akhir zaman. Rasulullah pernah bersabda dalam hadist riwayat Imam Muslim, bahwa di akhir zaman nanti akan muncul pemimpin-pemimpin yang zalim. Mereka digambarkan seperti orang yang memegang cambuk. Artinya, memanglah sudah layak, jika orang-orang di akhir zaman diberi kekuasaan absolut, maka dia akan menindas. 

Berdasarkan pola-pola kekuasaan absolut yang menindas tersebut, muncul kewaspadaan kolektif masyaraat untuk membentuk sebuah sistem pemerintahan yang meminimalisasi kezaliman. Ide terbaik yang dimunculkan sejarah adalah pembatasan dan pengawasan kekuasaan. Kekuasaan perlu dibatasi dan diawasi agar ketika pemimpin ingin berbuat zalim, dapat dideteksi sedini mungkin. Kemudian dapat diambil tindakan-tindakan tertentu untuk mencegah pemimpin itu berbuat zalim. Pencegahannya dapat berupa kritik atau pergantian kekuasaan. 

Sejak awal, seorang pemimpin diposisikan sebagai individu yang sangat mungkin berperilaku korup. Sehingga mungkin agak tidak masuk akal jika dalam demokrasi, semangat yang dimunculkan rakyat terhadap pemimpinnya dalah khusnudzon, dalam arti pseudo-khusnudzon. Semangat demokrasi adalah kewasadaan. Waspada pada dasarnya adalah kecurigaan, bahwa pemimpin dapat berbuat zalim atau korup. Untuk itulah diperlukan pembagian dan pengawasan kekuasaan. 

Dengan mentalitas waspada seperti itu, masyarakat menjadi lebih sensitif kepada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan penguasa, daripada kebaikan-kebaikan penguasa. Dalam demokrasi, penguasa memang sudah selayaknya baik. Bukan sesuatu yang istimewa jika penguasa menjalankan undang-undang. Itu adalah kewajiban, bukan sesuatu yang perlu diapresiasi. Namun, jika penguasa melakukan perilaku korup, maka ia perlu diberi respons kritik atau pergantian kekuasaan. Itulah sebabnya, dalam demokrasi, takdir penguasa adalah menjadapkan kritik, bukan pujian. Jika di alam demokrasi, seorang penguasa malah dipuja puji tanpa henti, maka itu pasti bukan demokrasi. Puja-puji terhadap penguasa hanya terjadi di negara-negara otoriter.

Begitu juga jika kita membandingkan antara khusnudzon dan kewaspadaan  di negara demokrasi. Maka penguasa di negara demokrasi hanya dapat dibatasi dan diawasi kekuasaannya jika mental masyarakatnya adalah waspada. Kalau mentak masyarakatnya malah khusnudzon, maka sebenarnya masyarakat sedang menciptakan diktator-populis, atau diktator yang dipilih secara demokratis (melalui pemilihan umum).

Dinasti Poltik: Salah Siapa?

Tangisan GM berhasil membuat saya iba. Tangisan GM pada dasarnya adalah tangisan pendukung Jokowi. Terutama mereka yang mengaku secara terang-terangan mendasarkan fanatismenya atas dasar khusnudzon. Namun, itulah harga yang layak ditanggung oleh mereka yang berdemokrasi dengan semangat pseudo-khusnudzon. 

Dukungan yan membabi-buta kepada Jokowi sejak 2014 sampai hari ini pada dasarnya adalah pseudo-khusnudzon. Jika ditilik ke belakang, banyak fakta dan pola perilaku Jokowi yang seharunya direspons dengan kewaspadaan, bukan khusnudzon. 

Contohnya, dari komitmen atau janji kampanye yang dilanggar. Sudah tak terhitung jumlahnya! Yang berkaitan dengan isu dinasti politik, seharusnya kewaspadaan itu sudah muncul ketika Gibran dicalonkan menjadi wali kota Solo. Namun itu belum juga membuka mata kewaspadaan pendukungnya. 

Lalu, menantunya Bobby yang juga mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Itu juga belum muncul kewaspadaaan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang menikah dengan adik Jokowi. Itu juga belum menyadarka kewaspadaan mereka. Sampai Kaesang jadi ketua umum PSI secara kilat, pendukung presiden Jokowi masih tenang-tenang saja. 

Barulah, tangisan itu menjadi-jadi ketika ketua MK mengesahkan aturan yang memungkinkan Gibran menjadi cawapres. Baru merasa kecewa dengan perilaku Presiden Jokowi. Padahal dulu sekali, Pak Jokowi dalam berbagai kesempatan menolak tudingan dinasti politik dengan mengatakan bahwa keluarganya tidak tertarik politik. Harusnya itu sudah menjadi sinyal munculnya sikap kewaspadaan. Tapi mau apa dikata, sepertinya demi kenyamanan psikologis, yang muncul malah pseudo-khusnudzon. Sebab, tidak nyaman mengatakan politisi idola-nya berkhianat. Apalagi sejak dulu Jokowi sudah diberi label “Orang Baik”. Makin berat secara psikologis untuk menerima fakta yang kesannya bertolak belakang.

Andaikata, sejak dahulu, Jokowi direspons dengan kewaspadaan, maka perasaan kecewa GM dan seluruh pendukung Jokowi tidak akan muncul. Juga tidak ada yang namanya isu dinasti politik atau sejenisnya. Kalau kita kecewa dengan kondisi saat ini, maka dalam demokrasi tidak ada yang dapat disalahkan selain rakyat itu sendiri. Bukankah demokrasi itu dari, oleh, dan untuk rakyat?  

Sedikit Koreksi untuk GM 

Dalam situasi saat ini, yang salah bukan “…orang yang menyalahgunakan prasangka baik…” seperti yang disampaikan dalam dialog antara GM dan Rosi. Namun, kesalahan itu letaknya pada keengganan kita semua untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan kenyamanan psikologis kita. 

Kenyataan paling mendasar dalam demokrasi adalah manusia itu akan zalim jika tidak dibatasi dan diawasi kekuasaannya. Maka kenyataan tersebut seharusnya direspons dengan kewaspadaan, bukan khusnudzon. Khusnudzon kepada penguasa hakikatnya adalah membiarkan penguasa tidak dibatasi dan tidak diawasi kekuasaannya. Jika karena khusnudzon itu berakibat dinasti politik, maka salahkan diri kita sendiri!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement