REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Presiden Iran Ebrahim Raisi dilaporkan akan menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) di Riyadh, Arab Saudi, untuk membahas konflik Israel-Hamas. Pertemuan tersebut diagendakan digelar pada Ahad (12/11/2023) mendatang.
KTT untuk membahas perang antara Hamas dan Israel diselenggarakan oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Kantor pusat OKI diketahui berada di Jeddah, Arab Saudi. “Presiden Raisi akan menghadiri KTT OKI di Riyadh,” ungkap seorang sumber yang enggan dipublikasikan identitasnya, Senin (6/11/2023), dikutip laman Al Arabiya.
KTT tersebut rencananya digelar satu hari setelah para pemimpin Liga Arab mengadakan pertemuan darurat untuk membahas hal serupa, yakni perang Hamas-Israel. Pertemuan Liga Arab diagendakan turut diselenggarakan di ibu kota Riyadh.
Jika kunjungan Raisi terealisasi, itu bakal menjadi lawatan perdananya ke Saudi sejak kedua negara memulihkan hubungan diplomatik pada Maret lalu. Relasi diplomatik kedua negara sempat terputus pada 2016.
Ebrahim Raisi sempat melakukan percakapan via telepon dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman pada 12 Oktober 2023 lalu. Mereka berbincang sepekan setelah pecahnya pertempuran terbaru antara Hamas dan Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Hingga berita ini ditulis, agresi Israel yang sudah berlangsung satu bulan telah membunuh sedikitnya 10 ribu warga Gaza. Lebih dari 4.100 di antaranya adalah anak-anak. Sementara korban luka melampaui 25 ribu orang. Serangan Israel juga telah mengakibatkan lebih dari 1 juta warga Gaza mengungsi dan terlantar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk kesekian kalinya kembali menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza. “Bencana yang sedang terjadi membuat perlunya gencatan senjata kemanusiaan menjadi semakin mendesak seiring berjalannya waktu,” katanya kepada wartawan di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AS), Senin kemarin.
Guterres menegaskan, pihak-pihak yang berkonflik, termasuk masyarakat internasional, memiliki tanggung jawab segera dan mendasar, untuk menghentikan penderitaan kolektif tak manusiawi terhadap penduduk Gaza serta memperluas bantuan kemanusiaan ke wilayah itu. “Mimpi buruk di Gaza lebih dari sekedar krisis humaniter. Ini adalah krisis kemanusiaan,” ujarnya.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengungkapkan, dibutuhkan dana sekitar 1,2 miliar dolar AS atau setara Rp18,67 triliun untuk mendukung operasi kemanusiaan di Jalur Gaza yang kini tengah dibombardir Israel. OCHA berharap mereka dapat menghimpun dana tersebut dari komunitas internasional.
“Besarnya respons dan kendala operasional ini melampaui apa yang pernah terjadi sebelumnya di Wilayah Pendudukan Palestina dan konteks lainnya. Respons kemanusiaan yang diperlukan mencakup kesehatan dan gizi, ketahanan pangan, perlindungan, air dan sanitasi, tempat tinggal dan barang-barang non-makanan, pendidikan, bantuan tunai multiguna, logistik, telekomunikasi darurat, dan koordinasi,” kata OCHA dalam sebuah pernyataan, Senin lalu dikutip Middle East Monitor.
OCHA menekankan bahwa biaya 1,2 miliar dolar AS hanya untuk operasi kemanusiaan. “Perkiraan ini tidak mencakup biaya pemulihan awal dan rekonstruksi, yang akan diperkirakan setelah situasi keamanan memungkinkan dilakukannya penilaian yang tepat,” ungkapnya.