REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan pihak-pihak yang berperan dalam menyebarkan konten self harm atau melukai diri sendiri di media sosial, perlu mendapat sanksi hukum. Saat ini muncul fenomena ajakan self harm melalui media sosial.
"Kita melihat fenomena self harm pada anak melalui ajakan media sosial adalah fenomena berulang, pelakunya sangat jauh dari sanksi hukum," ujar Jasra saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Pihaknya mengatakan tren self harm di platform media sosial TikTok itu mengancam generasi digital Indonesia yang mayoritas generasi milenial.
Jasra menyebut TikTok sudah mendaftar sebagai perusahaan penyelenggara sistem elektronik (PSE). Namun, perlu ada pengawasan terhadap hal-hal yang sudah diatur pemerintah, khususnya terkait perlindungan anak dalam penggunaan TikTok.
"Yang memang sulit dikontrol adalah hal-hal yang dianggap di luar yang diatur, tetapi mengganggu tumbuh kembang anak. Seperti fenomena self harm," kata Jasra Putra.
Menurut dia, ada persoalan menyangkut kejiwaan terkait tren TikTok ini, sehingga pengelola dan pemerintah harus melakukan pembatasan pada anak demi melindungi mereka.
"Saya kira belum ada perlindungan anak di platform digital yang dibahas, sampai tingkat teknis pada penindakan seperti ini. Atau bila sudah ada, keberpihakannya masih sangat lemah," ujar Jasra.
Sebelumnya, sebelas murid sekolah dasar (SD) di Situbondo, Jawa Timur, nekat melukai tangannya sendiri menggunakan alat kesehatan jenis GDA stick yang dijual oleh seorang pedagang keliling di sekitar sekolah. Belasan anak yang melukai tangannya sendiri itu ternyata mengikuti tren di media sosial TikTok.
Kejadian ini terungkap saat guru di sekolah tersebut menemukan lengan salah seorang murid yang dipenuhi luka goresan yang tidak wajar. Saat ditanya oleh guru, murid tersebut mengaku hanya mengikuti tren TikTok barcode Korea.