Selasa 07 Nov 2023 17:22 WIB

Soal Bocornya Rapat, Para Hakim MK Disanksi Teguran Lisan

Hakim MK diminta hilangkan praktek saling pengaruhi antarhakim dalam memutus perkara.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Suasana jalannya sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Foto: Republika/Prayogi
Suasana jalannya sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (7/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi ringan kepada para hakim MK menyangkut bocornya informasi rapat permusyarawatan hakim (RPH) dan benturan kepentingan antar hakim MK. 

"Para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku sapta karsa hutama prinsip kepantasan dan kesopanan. Sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor," kata Ketua MKMK Prof Jimly Asshiddiqie dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (7/11/2023). 

 

MKMK menyimpulkan para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti tidak dapat menjaga keterangan dan rahasia dalam RPH yang bersifat tertutup. Sehingga kesembilan hakim MK melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan. 

 

"Hakim konstitusi secara sendiri-sendiri dan bersama-sama punya tanggungjawab hukum dan moral agar informasi yang dibahas dalam RPH tidak bocor keluar," ujar Jimly 

 

Kemudian, MKMK menyoroti semua hakim MK melakukan praktek pelanggaran benturan kepentingan. Kondisi ini menurut MKMK bahkan sudah jadi kebiasaan yang dianggap hal wajar.  "Karena hakim terlapor secara bersama-sama membiarkan terjadinya pelanggaran kode etik yang nyata," ujar Jimly. 

 

Dalam masalah ini, MKMK merekomendasikan hakim konstitusi tidak boleh membiarkan kebiasaan praktek saling pengaruhi antarhakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Masalah ini menyebabkan independensi fungsional hakim menjadi tidak kokoh yang pada gilirannya terjadi peluang pelemahan struktural MK. 

 

"Hakim konstitusi tidak boleh biarkan praktek pelanggaran kode etik yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan antar hakim termasuk kepada pimpinan sehingga prinsip kesetaraan hakim terabaikan," ujar Jimly. 

 

Diketahui, putusan ini menyangkut laporan pelanggaran kode etik sbg berikut:

 

8/MKMK/L/ARLTP/X/2023 dengan pelapor PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia)

 

12/MKMK/L/ARLTP/X/2023 dengan pelapor Advokat Pengawal Konstitusi

 

9/MKMK/L/ARLTP/X/2023dengan pelapor Johan Imanuel dkk yang tergabung dalam Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia

 

7/MKMK/L/ARLTP/X/2023 dengan pelapor Furqan Jurdi dkk yang tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Madani

 

20/MKMK/L/ARLTP/X/2023 dengan pelapor Alamsyah Hanafiah

 

Deretan pelaporan terhadap MK merupakan akibat MK yang memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023). 

 

Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang pro pencalonan Gibran tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau Dissenting Opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.

 

Hingga berita ini dibuat, MKMK masih membacakan putusan untuk laporan lain. 

 RIZKYSURYARANDIKA.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement