Rabu 08 Nov 2023 09:19 WIB

KPAI Sebut Selfharm Jadi Tren di Tiktok Akibat Kekosongan Hukum

Sebanyak 11 murid SD di Situbondo, Jawa Timur, nekat melukai tangan sendiri.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra.
Foto: Dok Republika.co.id
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengungkap ancaman yang mengintai generasi muda, yakni konten seflharm atau menyakiti diri sendiri. Tren yang beredar di media sosial Tiktok itu dinilai merupakan bagian dari kekosongan hukum.

“Sehingga kita melihat fenomena selfharm pada anak melalui ajakan media sosial, adalah fenomena berulang, pelakunya sangat jauh dari sanksi hukum,” kata Jasra saat dihubungi, Selasa (7/11/2023).

Baca Juga

Dia mengatakan, meski Tiktok sudah mendaftar penyelenggara sistem elektronik (PSE), tapi masih ada yang memang sulit dikontrol. Itu adalah hal-hal yang dianggap di luar yang diatur, tetapi menganggu tumbuh kembang anak, seperti fenomena selfharm yang tidak termasuk wilayah hukum.

Jasra mengatakan, ajakan-ajakan buruk di media sosial seperti itu yang seringkali sulit untuk diberantas. Berbeda dengan kekerasan pada transaksi elektronik yang bersifat terlihat, seperti fisik dan barang, hal-hal yang merusak kejiwaan masih sulit untuk diproses. Padahal, yang kerap menjadi korban adalah anak.

“Tetapi khusus anak yang berdampak pada persoalan kejiwaan, seperti anak mengikuti selfharm, siapa yang paling bertanggung jawab melakukan pembatasan kepada para pelaku yang mengajaknya? Atau lebih jauh lagi, siapa yang mampu menyentuh mereka untuk proses hukum?” kata dia.

Menurut dia, kejahatan melalui media sosial atau platform digital merupakan pekerjaan yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Dia memberikan contoh kasus ketika anak didekati dengan cara apapun di media sosial untuk kemudian diminta untuk melakukan sesuatu secara  tidak baik, seperti mengajak melakukan selfharm, sementara pelaku tidak berada di negara yang sama.

Dia juga melihat, saat ini belum ada pembahasan sampai di tingkat teknis hingga pada tingkat penindakan terkait dengan perlindungan anak di platform digital. Kalaupun ada, kata dia, keberpihakannya masih sangat lemah. Itulah yang dia nilai membuat fenomena selfharm pada anak terjadi secara berulang.

Sebelumnya, sebanyak 11 murid sekolah dasar (SD) di Situbondo, Jawa Timur, nekat melukai tangan sendiri menggunakan alat kesehatan jenis GDA stick yang dijual oleh seorang pedagang keliling di sekitar sekolah. Belasan anak yang melukai tangannya sendiri itu ternyata mengikuti tren di media sosial TikTok.

Kejadian tersebut terungkap saat guru di sekolah tersebut menemukan lengan salah seorang murid yang dipenuhi luka goresan yang tidak wajar. Saat ditanya oleh guru, murid tersebut mengaku hanya mengikuti tren TikTok barcode Korea.

Selain tren selfharm, media sosial Tiktok juga sempat diramaikan dengan fenomena roleplaying game. Ketika itu viral sebuah video ayah memarahi anak perempuannya yang bermain role-playing game atau disingkat RP viral di Tiktok. Anak itu melakukan RP dengan orang yang tidak dikenal di media sosial tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement