Rabu 08 Nov 2023 12:32 WIB

Medsos Jadi Medan Perang Warganet Global Boikot Produk Pro Israel

Masyarakat menggunakan daya beli mereka untuk menunjukkan solidaritas tersebut.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Lida Puspaningtyas
Seorang anak bersepeda di dekat gerai Starbucks yang kembali beroperasi di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Ahad (5/11/2023). Gerai makanan cepat saji McDonalds dan Starbucks kembali beroperasi pasca Aksi Damai Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina yang digelar di Monas.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Seorang anak bersepeda di dekat gerai Starbucks yang kembali beroperasi di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Ahad (5/11/2023). Gerai makanan cepat saji McDonalds dan Starbucks kembali beroperasi pasca Aksi Damai Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina yang digelar di Monas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tekanan dunia untuk boikot perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel terus meluas. Para aktivis dan warganet menggunakan Twitter dan Tiktok untuk mengungkap bagaimana perusahaan multinasional mendukung pendudukan Israel di Palestina.

Gerakan boycott, divestment, sanctions (BDS) atau boikot, divestasi, sanksi mengajak para pengikutnya untuk meninggalkan merek-merek besar tersebut karena keterlibatan langsung mendukung kekejian Israel terhadap warga Palestina. Boikot yang ditargetkan terutama terfokus pada tiga besar, yakni McDonald's (McD), Starbucks, dan Disney+.

Baca Juga

Keputusan McDonald's yang berbasis di Israel menawarkan makanan gratis kepada militer Israel menyebabkan boikot konsumen dan menyebabkan waralaba lain di wilayah Arab dan Muslim menjauhkan diri dari tindakan tersebut.

Starbucks juga menggugat serikat pekerjanya, Starbucks Workers United pada awal bulan ini setelah organisasi buruh tersebut mengunggah pesan yang sudah dihapus di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, yang menyatakan solidaritas terhadap warga Palestina. Tagar #boycottstarbucks telah ditonton lebih dari 29 juta kali di Tiktok.

Sementara, Disney+ menjanjikan 2 juta dolar AS kepada Israel dan perusahaan akan memberikan sumbangan dari karyawannya hingga 25 persen.

Boikot ini dianggap sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas dari BDS yang secara resmi diluncurkan pada 2005 oleh koalisi sekitar 170 kelompok akar rumput dan masyarakat sipil Palestina.

Seruan memboikot produk pro Israel telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir di tengah kekhawatiran mengenai perlakuan biadab Israel terhadap warga Palestina. Gerakan ini menargetkan perusahaan-perusahaan internasional yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia Palestina. Bahkan, mereka menyamakan aksi Israel dengan apartheid di Afrika Selatan.

Kelompok hak asasi manusia terkemuka di Palestina, Israel, dan internasional, termasuk Human Rights Watch, Amnesty International, dan B'Tselem, menyebut situasi di Tepi Barat yang diduduki sebagai apartheid.

BDS mengajak masyarakat mengingat daftar target perusahaan-perusahaan yang terlibat mendukung Israel. Gerakan BDS mendorong tekanan berkelanjutan terhadap mereka yang mendukung perang genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza.

"Namun pada saat yang sama, mari kita perkuat kampanye yang ditargetkan dan boikot perusahaan-perusahaan yang paling terlibat untuk memaksimalkan dampaknya!" demikian pernyataan BDS dilansir dari The New Arab, Rabu (8/11/2023).

Saat ini, tagar #BDS memiliki 2,8 miliar penayangan di Tiktok, sementara tagar #BDSboycottlist telah ditonton 5 juta kali.

Dampak boikot sendiri sudah membuat banyak perusahaan pro Israel ketakutan. Pengguna X dari Mesir telah melaporkan supermarket telah menawarkan diskon hampir 80 persen untuk Starbucks Frappuccino.

"Di Mesir, diskon 73 poundsterling. Ini gila. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Selain merek Pepsi, Coca-Cola, dan lainnya, semua orang berhenti membelinya sama sekali, dan siapa pun yang membelinya, kami memperlakukannya seperti orang buangan," tulis warganet Mesir.

Hal serupa pun terjadi di McD yang ada di Inggris sepanjang November. Banyak orang di dunia maya yang merayakan hal ini sebagai sinyal bahwa boikot tersebut berhasil, tapi mengingatkan pengikut mereka untuk tidak terperdaya oleh tipuan diskon gede-gedean.  

"Hanya setelah tiga minggu boikot, Starbucks di Malaysia telah mengurangi jam operasional secara nasional karena kehilangan banyak pelanggan. Langkah selanjutnya adalah penutupan gerai-gerai tertentu dan akhirnya hilangnya Starbucks sepenuhnya dari negara tersebut," tulis ShahidkBolsen di akun X.

Karyawan waralaba juga melalui media sosial mengonfirmasi bahwa boikot tersebut mulai berlaku.

Pengguna Tiktok dan barista Starbucks Ambrose dalam akun @ambrose_darling mengunggah video yang mendorong boikot Starbucks pada 23 Oktober, yang telah ditonton 1,3 juta kali dan lebih dari 6.800 komentar. Ambrose menyampaikan boikot telah membuat pengunjung gerai Starbucks anjlok dalam beberapa hari terakhir. Bahkan, Ambrose melanjutkan, konsumen setia yang hampir setiap hari datang kini tak terlihat batang hidungnya.

"Boikot berhasil. Teruskan. Berhasil. Saya tahu sering kali terutama yang tinggal di Amerika Serikat, karena jauh dari situasi yang ada, sepertinya tidak ada yang berhasil dari apa yang kita lakukan di belahan dunia lain. Ini berhasil. Anda harus terus melakukannya," ujar Ambrose.

Tak sekadar boikot, berbagai aksi protes pun melanda merek-merek pendukung Israel. Contohnya tiga lokasi jaringan makanan cepat saji McDonalds yang dipenuhi puluhan tikus di Inggris. Dalam salah satu insiden, tikus-tikus tersebut dicat dengan warna merah, putih, dan hijau untuk melambangkan bendera Palestina.

Video kejadian yang diunggah di media sosial menunjukkan seorang pria dengan bendera Palestina melingkari kepalanya membawa sekotak tikus ke dalam restoran cepat saji di Birmingham sambil meneriakkan 'Bebaskan Palestina'.

Zoe dalam akun @BLAHBLAH di aplikasi X menyebut aksi boikot akan membuat sentimen negatif terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Dengan begitu, hal ini akan membuat investor menarik sahamnya.

Sentimen mengutuk Israel paling jelas terlihat pada platform media sosial Tiktok di mana algoritme merespons keterlibatan penggunanya, bukan pada garis editorial. Ada keinginan besar bergabung dalam solidaritas dengan rakyat Palestina, karena keadaan di Palestina terus memburuk, masyarakat akan menggunakan daya beli mereka untuk menunjukkan solidaritas tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement