Rabu 08 Nov 2023 21:18 WIB

Tentara Israel Membunuh Wartawan adalah Kejahatan Perang

Pembunuhan terhadap wartawan oleh tentara Israel di Gaza adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.

Rep: MASPRIL ARIES/ Red: Partner
.
Foto: network /MASPRIL ARIES
.

Para pelayat membawa jenazah videografer Reuters Issam Abdallah yang tewas akibat tembakan Israel saat prosesi pemakamannya di kampung halamannya di Khiam, Lebanon selatan, Sabtu, 14 Oktober 2023. (FOTO : AP Photo/Bilal Hussein)

KAKI BUKIT – Reporters Without Borders atau RWB pada laman websitenya www.rsf.org menayangkan berita berjudul “Israel/Palestine war: 41 journalists, more than one a day, killed in first month of Israel-Palestine war”.

Dalam berita tersebut menyebutkan, ada 41 jurnalis tewas dalam perang Israel-Palestina sejak 7 Oktober. 36 orang wartawan yang tewas adalah wartawan Palestina yang tewas akibat serangan Israel di Jalur Gaza. Sisanya ada empat wartawan Israel tewas dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Ada juga jurnalis video Reuters Issam Abdallah terbunuh di Lebanon Selatan pada 13 Oktober, dalam serangan yang melukai enam jurnalis lainnya yang bekerja untuk AFP, Reuters dan saluran berita TV Qatar Al Jazeera.

Reporters Without Borders atau RWB jika diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia adalah “Wartawan Tanpa Batas”, dalam bahasa Prancis: Reporters sans frontières, dan bahasa Spanyol: Reporteros Sin Fronteras atau RSF adalah organisasi internasional yang melakukan penelitian mengenai dan mendukung kebebasan pers.

RWB adalah organisasi non-pemerintah dan non profit dengan status sebagai konsultan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi ini berpusat di Paris dan mulai berdiri tahun 1985.

Data yang sama dilansir CPJ (Committee to Protect Journalists). Di laman www.cpj.org menyebutkan, sampai 7 November 2023 ada 39 jurnalis dan pekerja media dipastikan tewas yang terdiri 34 warga Palestina, empat warga Israel, dan satu warga Lebanon. Ada delapan jurnalis dilaporkan terluka, tiga jurnalis dilaporkan hilang dan sembilan jurnalis dilaporkan ditangkap. Berbagai penyerangan, ancaman, serangan siber, sensor, dan pembunuhan anggota keluarga terus terjadi.

CPJ juga menyelidiki sejumlah laporan yang belum dapat dikonfirmasi mengenai jurnalis lain yang terbunuh, hilang, ditahan, disakiti, atau diancam, dan mengenai kerusakan pada kantor media dan rumah jurnalis.

Committee to Protect Journalist atau CPJ adalah organisasi non-profit dan Non-Governmental Organization yang memiliki perwakilan di berbagai negara-negara di dunia. Organisasi ini berdiri tahun 1981 berpusat di Kota New York, Amerika Serikat. . CPJ hadir mempromosikan kebebasan pers dan membela hak-hak jurnalis. The American Journalism Review menyebut organisasi ini sebagai “Palang Merah Jurnalistik”.

Apakah jumlah wartawan yang tewas dan luka-luka akan terus bertambah? Dari penyelidikan awal CPJ, selain 39 jurnalis dan pekerja media yang tewas, juga tewas 11.000 orang yang terbunuh sejak perang dimulai pada tanggal 7 Oktober 2023 – ada 9.900 warga Palestina tewas di Gaza dan Tepi Barat, dan 1.400 orang tewas di Israel.

CPJ mengutip Reuter dan kantor berita Agence France Press (AFP) bahwa tentara pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan jurnalis yang beroperasi di Jalur Gaza. Jurnalis atau wartawan di Gaza menghadapi risiko yang sangat tinggi ketika mereka mencoba meliput konflik dalam menghadapi serangan darat Israel di Kota Gaza, serangan udara Israel yang menghancurkan, gangguan komunikasi, dan pemadaman listrik yang luas.

Dalam penyerangan tentara Israel ke Gaza dengan target melakukan genosida terhadap warga Palestina, pasukan zionis tersebut menyerang dan membom sasaran juga warga sipil tidak bersenjata, perempuan dan anak serta wartawan.

Pertengahan Oktober 2023, Reporters Without Borders menyampaikan protes dan mengutuk mengutuk tekanan yang dilakukan Israel terhadap media-media di Jalur Gaza. Tentara Israel memasuki Gaza dengan membunuh atau melukai jurnalis, menghancurkan gedung media, membatasi akses internet, dan menutup kantor Al Jazeera.


Pemerintah Israel berupaya memberlakukan penutupan total media di Gaza sebagai bagian dari blokade di wilayah tersebut. Ada sekitar 50 media di Gaza telah dirusak atau dihancurkan oleh serangan udara Israel sejak konflik pada 7 Oktober 2023. Blokade Israel di Jalur Gaza telah menghambat operasi sebagian besar dari 24 stasiun radio di wilayah tersebut.

Menteri Komunikasi Israel Shloma Kar pada pertengahan Oktober menyatakan, mencari kemungkinan penutupan biro lokal Al Jazeera, dan menuduh stasiun berita Qatar itu melakukan hasutan pro-Hamas dan membuat tentara Israel terkena potensi serangan dari Gaza.

Shireen Abu Akleh

Apa yang terjadi di Gaza dengan jumlah puluhan wartawan dan pekerja media yang tewas diujung peluru tentara Israel, bukanlah pembunuhan yang pertama atau ke dua. Jauh sebelumnya, sejak Israel terus merebut wilayah atau tanah Palestina, sejak saat itu satu persatu wartawan berguguran.

Republika pernah membuat data grafis jumlah wartawan yang tewas ditembak atau terkena serangan udara Israel sejak tahun 2000 sampai 2018. Tercatat ada 40 wartawan yang terbunuh.

Sebelum penyerangan atau aneksasi ke Gaza, pada 15 Mei 2022, Shireen Abu Akleh (51 tahun) jurnalis senior Al Jazeera berkebangsaan Palestina dan berkewarganegaraan AS tewas tertembak di kepala saat sedang meliput aksi penggerebekan militer Israel di kamp pengungsi di Jenin, Tepi Barat.

Amerika Serikat (AS) mengutuk keras pembunuhan Shireen Abu Akleh melalui Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki. Menurutnya, AS akan terus mempromosikan kebebasan media dan melindungi kerja-kerja jurnalis. “Kematiannya (Abu Akleh) adalah kehilangan yang tragis dan penghinaan terhadap kebebasan media di manapun”, katanya.

Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mendesak Israel segera menyelesaikan penyelidikan atas kematian jurnalis Palestina Shireen Abu Akleh.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres dalam pernyataan tertulis juga mengecam pembunuhan tersebut. Sekjen PBB mengecam semua serangan dan pembunuhan terhadap jurnalis dan mengingatkan bahwa jurnalis tidak boleh menjadi target kekerasan.

Pekerja media harus bertugas secara bebas dan tanpa kekerasan, intimidasi, atau tanpa rasa takut menjadi target. “Kebebasan pers sangat penting untuk perdamaian, keadilan, pembangunan berkelanjutan dan HAM”, ungkap Antonio Guterres.

Walau mendapat kutukan dan kecaman dari penjuru dunia, pemerintah zionis Israel malah berkelit dengan menuding militan Palestina yang menembak Shireen Abu Akleh. Palestina telah menyangkal tuduhan Israel tersebut. Tidak ada kelompok militan di antara warga Palembang terlebih terlebih memiliki senjata berat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan bahwa pembunuhan jurnalis senior Shireen Abu Akleh di Tepi Barat merupakan bentuk dari pelanggaran hukum internasional. Shireen terkena tembakan ketika sedang meliput bentrokan.

Kecaman juga datang dari Kepala UNESCO Audrey Azoulay. Menurutnya kematian jurnalis Shireen yang sedang meliput peristiwa apa lagi sudah jelas saat tertembak dia memakai jaket bertuliskan “pers”.

Dalam situasi perang dikenal ada wartawan atau jurnalis yang melekat pada kekuatan militer (embedded journalist), ada juga jurnalis yang bergerak melaksanakan liputan secara independen tanpa terikat dengan pihak atau militer yang bertempur. Di Gaza banyuak wartawan yang melaksanakan liputan secara independen.


Menurut Ben Saul dalam jurnal “The International protection of journalist in armed conflict and other violent situations” (2000), jurnalis merupakan bagian penting dari suatu sistem yang memastikan pelaksanaan aturan-aturan hukum perang, dimana kebanyakan pihak lain tidak hadir.

Dari medan perang seringkali melalui laporan berita dari wartawan bahwa praktik tidak berperikemanusian dalam perang diketahui oleh seluruh dunia, dan fungsinya untuk menyalurkan berita kepada dunia luar dari konflik tersebut memungkinkan opini publik dunia mengutuk metode perang tersebut atau suatu kasus tertentu.

Hukum Humaniter

Badan PBB Unesco menegaskan bahwa pembunuhan terhadap wartaan atau pekerja pers yang sudah jelas teridentifikasi di sebuah area konflik adalah sebuah pelanggaran hukum internasional. Sebagai pelanggaran hukum internasional, pembunuhan terhadap jurnalis di wilayah konflik atau medan perang berpotensi sebagai kejahatan perang.

Pembunuhan terhadap wartawan seperti yang dilakukan tentara Israel di Gaza adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional dan berpotensi menjadi kejahatan perang di bawah Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional.

Dari semua kasus pembunuhan terhadap wartawan oleh tentara Israel atau mesin perang Israel sudah seharusnya kasus tersebut dibawa ke International Criminal Court (ICC) guna memastikan mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhannya dibawa ke pengadilan dan dimintai pertanggungjawaban melalui peradilan internasional sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Satu bulan setelah konflik bersenjata dan penyerbuan Israel ke Gaza berlangsung, tetap ada saja warga sipil atau wartawan yang menjadi sasaran tentara dan mesin perang Israel.

Padahal sudah sejak lama, dalam setiap perang di dunia internasional dikenal adanya Hukum Humaniter Internasional yang pada dasarnya mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil (yang bukan merupakan kombatan), jurnalis atau wartawan adalah pihak non kombatan yang netral dan tidak melakukan perbuatan permusuhan dengan mereka yang berperang.

Keberadaan jurnalis atau wartawan di medan perang dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional dan tidak boleh dijadikan sebagai obyek atau sasaran serangan berdasarkan prinsip pembedaan. Faktanya tidak demikian pada penyerangan oleh tentara Israel di Gaza. Justru sebaliknya wartawan adalah sasaran yang diincar tentara Israel untuk dibungkam dan dibunuh.

Istilah Hukum Humaniter bermula dari istilah Hukum Perang (Law of War) yang kemudian menjad Hukum Sengketa Bersenjata (Law of Armed Conflict) dan kini dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional. Dalam Hukum Humaniter Internasional tidak semua jenis konflik diatur dalam Hukum Humaniter Interansional.

Obyek dari Hukum Humaniter Internasional adalah konflik bersenjata (Armed Conflict) yang mencakup konflik bersenjata internasional (International Armed Conflict) dan konflik bersenjata non internasional (Non International Armed Conflict).

Instrumen Hukum Humaniter Internasional terdiri dari Law of Hague yang mengatur tata cara bersengketa tata cara sengketa bersenjata dan Law of Geneva yang memberikan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata atau perang.


Jurnalis di Perang Gaza | Press Freedom Group

Mengutip Mochtar Kusumatmadja (mantan Menteri Luar Negeri Indonesia) dalam sumber Hukum Humaniter Internasional yang mengatur khusus mengenai perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang disebut Geneva laws. Geneva laws atau hukum Jenewa bersumber dari Konvensi Jenewa. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang yang dikenal juga dengan Konvensi Palang Merah Internasional.

Dalam Konvensi Jenewa 1949 perlindungan kepada wartawan atau jurnalis Di medan perang diatur khusus dalam Konvensi ke-III tentang Tawanan Perang dan Konvensi ke-IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil yang disempurnakan pada Pasal 79 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977.

Untuk dapat diperlakukan sebagai civillian, seorang jurnalis peliput perang dituntut tampil netral dan tidak menunjukkan sikap bermusuhan/ hostile, dan sebagai pembuktian dan petunjuk atas status mereka, maka jurnalis harus mampu menunjukkan kartu identitas jurnalis seperti yang ditentukan dalam Annex II Protokol Tambahan I/ 1977.

Wartawan dalam instrumen Hukum Humaniter Internasional sudah diatur sejak Law of Hague atau Konvensi Hague 1899 dan 1907. Kemudian dalam Konvensi Jenewa 1929 dan Konvensi Jenewa 1949 yang menggunakan istilah “War Correspondents.” Pada Protokol Tambahan I 1977 dari Konvensi Jenewa untuk wartawan menggunakan istilah “journalist.” Tidak memperoleh status sebagai tawanan perang.

Dalam Pasal 79 Protokol Tambahan I 1977 menyebutkan : 1. Wartawan-wartawan yang melakukan tugas-tugas pekerjaanya yang berbahaya di daerah-daerah sengketa bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil di dalam pengertian Pasal 50 ayat (1).

2. Mereka ini akan dilindungi sedemikian rupa di bawah Konvensi dan Protokol ini, asalkan saja mereka tidak mengambil tindakan yang mempengaruhi secara merugikan kedudukan mereka sebagai orang-orang sipil, dan tanpa mengurangi hak mereka sebagai wartawan perang yang ditugaskan pada angkatan perang dengan kedudukan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 4 A(4) dari Konvensi Ketiga.

3. Mereka ini dapat memperoleh kartu pengenal yang sama dengan model kartu pengenal dalam Lampiran II dari Protokol ini. Kartu ini, yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah dari Negara, dari mana wartawan itu adalah warganegaranya atau yang wilayahnya ia bertempat tinggal atau dimana alat pemberitaan yang mempekerjakannya berada, harus menyatakan sebenarnya.

Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I-II 1977 adalah aturan yang berlaku bagi konflik bersenjata sehingga wartawan yang dilindungi adalah wartawan yang menjalankan dangerous assignment di daerah konflik bersenjata.

Dalam perang atau konflik bersenjata, perlindungan terhadap wartawan sangat penting agar dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tidak terganggu dan mendapat kebebasan dalam menghimpun berbagai informasi tentunya memastikan keselamatan mereka. (maspril aries)

sumber : https://kakibukit.republika.co.id/posts/244411/tentara-israel-membunuh-wartawan-adalah-kejahatan-perang
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement