REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertanyaan tentang apakah aksi boikot, divestasi, sanksi (BDS) efektif dalam memukul perekonomian Israel selalu muncul. Bahkan dalam lini massa X baru-baru ini, tak sedikit warganet Indonesia yang memperdebatkan hal tersebut. Sebagian menilai BDS memiliki dampak langsung terhadap Israel, sedangkan sebagian lainnya memiliki pandangan berlawanan.
Aljazirah, dalam laporannya pada Maret 2018, pernah menyebut BDS berpotensi merugikan Israel hingga 11,5 miliar dolar AS per tahun. Angka itu didasarkan pada laporan Pemerintah Israel pada 2013 yang memperhitungkan skenario paling ekstrem berupa boikot besar-besaran oleh Uni Eropa terhadap produk Israel dan penghentian investasi.
Sejumlah pihak menilai, skenario boikot besar-besaran dan penghentian investasi oleh Uni Eropa tampaknya tidak mungkin terjadi. Namun hal tersebut tetap saja membuat para pemimpin Israel khawatir. Pada November 2019, pengadilan tinggi Uni Eropa telah memutuskan bahwa semua produk makanan yang diproduksi di wilayah pendudukan Palestina harus diberi label khusus. Hal itu agar masyarakat Benua Biru dapat mengetahui secara pasti di mana produk-produk yang mereka konsumsi diproduksi.
Menurut pengadilan tinggi Uni Eropa, selama ini banyak produk yang memasuki benua tersebut dikemas dengan keterangan dibuat di Israel. Padahal sebenarnya barang-barang itu diproduksi di wilayah pendudukan Palestina. Hal itu dipandang menyesatkan konsumen. Uni Eropa adalah salah satu pihak yang vocal menentang perluasan permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina.
Bank Dunia sempat merekam penurunan tajam dalam ekspor Israel antara 2014 hingga 2016. Nilai kerugiannya sekitar 6 miliar dolar AS. Pada periode yang sama, investasi asing meningkat menjadi sekitar 12 miliar dolar AS setelah turun ke angka 6 miliar dolar AS pasca serangan Israel ke Gaza pada 2014, yang menewaskan 1.462 warga sipil
Sementara itu Brookings Institution yang berbasis di Washington mengeklaim aksi pemboikotan tidak akan berdampak drastis terhadap ekonomi Israel. Hal itu karena 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediate” atau barang setengah jadi. Artinya barang tersebut digunakan dalam proses produksi barang lain yang diproduksi di tempat lain seperti semikonduktor. Data terkait hal ini turut tercantum di situs World Integrated Trade Solution milik Bank Dunia. Sekitar 50 persen ekspor Israel adalah barang-barang yang “dibedakan”, yaitu barang-barang yang tidak dapat digantikan seperti cip komputer khusus.
Dengan fakta tersebut, tampak bahwa Israel cukup terintegrasi dalam rantai nilai global. Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia – dan bukan hanya masyarakat biasa – mengimpor barang-barang itu. Barang-barang setengah jadi juga lebih sulit untuk dijadikan sasaran boikot. Sebab banyak dari barang-barang tersebut tidak terlihat oleh konsumen rata-rata, dan “tersembunyi” dalam proses produksi suatu produk di negara lain.
Kendati demikian, bukan berarti aksi boikot sama sekali tak memberikan ancaman kepada Israel. Meski sebagian besar produk yang diekspor Israel kemungkinan besar sulit diboikot secara efektif, tapi secara teori masih ada sebagian produk lainnya yang tetap bisa menjadi sasaran boikot. Mereka mencakup pariwisata, beberapa produk pertanian, manufaktur non-kompleks, dan mungkin juga beberapa ekspor jasa. Boikot budaya, kesenian, dan akademis juga bisa berdampak. Walaupun sebagian besar dari boikot tersebut secara tidak proporsional turut menyasar warga Israel yang mungkin menentang kebijakan pemerintah mereka.