Jumat 10 Nov 2023 19:15 WIB

Seribu Petugas dari Seluruh Inggris Dikerahkan Amankan Aksi Pro-Palestina

Aksi pro-Palestina yang bersamaan dengan Hari Gencatan Senjata akan digelar besok

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Para pengunjuk rasa mengibarkan bendera saat menghadiri demonstrasi pro Palestina di London, Sabtu, 14 Oktober 2023, untuk mendukung warga Palestina yang terjebak dalam perang antara Israel dan Hamas. (Foto AP/Kin Cheung)
Foto: AP/Kin Cheung
Para pengunjuk rasa mengibarkan bendera saat menghadiri demonstrasi pro Palestina di London, Sabtu, 14 Oktober 2023, untuk mendukung warga Palestina yang terjebak dalam perang antara Israel dan Hamas. (Foto AP/Kin Cheung)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lebih dari 1.000 petugas dari pasukan di seluruh negeri akan direkrut untuk membantu Kepolisian Metropolitan akhir pekan ini. Pengerahan itu untuk menjaga keamanan dalam rencana aksi pro-Palestina yang bersamaan dengan Hari Gencatan Senjata pada Sabtu (11/11/2023).

Para kepala polisi mendukung keputusan komisaris Met Sir Mark Rowley menolak pelarangan unjuk rasa pro-Palestina. Padahal sebelumnya  Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman telah mengungkapkan keberadaan aksi tersebut.

Baca Juga

Ketua Dewan Kepala Polisi Nasional (NPCC) Gavin Stephens mengatakan, demonstrasi yang menyebabkan ratusan ribu orang turun ke jalan di seluruh negeri selama lima minggu terakhir sebagai tanggapan terhadap perang Israel-Hamas sebagian besar berjalan damai. Dia mengatakan,  tidak ada kekerasan atau kekacauan serius, meskipun ada minoritas yang berniat mengganggu masyarakat yang taat hukum.

Tapi, para pengunjuk rasa dan kontra-demonstran diperkirakan akan melakukan perjalanan ke London akhir pekan ini dari seluruh penjuru negeri. Untuk mengantisipasi, lebih dari 1.000 petugas direkrut dari pasukan lain di setiap wilayah di Inggris dan Wales.

Sunak mengatakan,  akan meminta pertanggungjawaban Sir Mark karena mengizinkan unjuk rasa pro-Palestina terus berlanjut. Sementara  Braverman memicu kecaman luas atas artikel yang ditulis di The Times karena menggambarkan mereka yang turun aksi terlibat demonstrasi kebencian. Dia juga  menuduh polisi memiliki sikap lebih sayang terhadap kelompok sayap kiri dibandingkan aktivis sayap kanan dan nasionalis.

Stephens mengatakan bukan tugas polisi untuk meminta pertanggungjawaban Menteri Dalam Negeri. Namun dia menekankan pentingnya debat publik tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan operasional, karena hal ini akan secara fundamental melemahkan kepolisian.

“Dalam kepolisian kita memerlukan ruang untuk mengambil keputusan operasional yang sulit secara independen,” kata Stephens dikutip dari Skynews.

“Keputusan yang kami ambil bukanlah keputusan yang mudah, tetapi kami melakukannya secara tidak memihak, tanpa rasa takut atau dukungan, dan sejalan dengan hukum dan praktik profesional kami yang sah," ujarnya.

Ketika ditanya apakah polisi bias, Stephens mengatakan, keputusan diambil tanpa rasa takut atau dukungan. "Kami tidak mempertimbangkan apa pun pandangan pribadi kami mengenai suatu topik," katanya.

Stephens menganggap penggunaan bahasa secara hati-hati dan tidak memicu ketegangan masyarakat adalah tanggung jawab warga negara. “Saya melakukan apa yang saya bisa untuk memberikan jaminan untuk menjaga suhu tetap rendah ketika kita berada di masa konflik internasional yang mengerikan dan tragis yang mempengaruhi banyak keluarga di seluruh dunia dan bahasa adalah hal yang penting,” katanya.

“Dan tindakan kami dalam meredakan ketegangan sangatlah penting. Dan kami menganggapnya sangat serius dalam kepolisian," ujar Stephens.

Penangkapan demonstran...

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement