Sabtu 11 Nov 2023 17:04 WIB

Potensi Sangat Besar, Pemanfaatan Bionergi Dinilai Belum Optimal

Pemanfaatan bioenergi dinilai masih belum optimal.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ahmad Fikri Noor
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung atau Floating Solar PV Cirata.
Foto: PLN
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung atau Floating Solar PV Cirata.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemanfaatan bioenergi dinilai masih belum optimal meskipun potensinya sangat besar di Indonesia. Data Kementerian ESDM menyebutkan potensi EBT yang berlimpah mencapai 3.687 GW, terdiri dari potensi surya, hidro (air), bioenergi, bayu (angin), panas bumi, laut, hingga potensi uranium dan thorium. Potensi EBT tersebut sangat besar, tersebar, dan beragam. 

“Bioenergi kita menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN)/biofuel seperti biodiesel dan bioetanol, biogas, serta biomassa padat. Namun dari semua itu, kita baru memanfaatkan 0,3 persen potensi yang ada,” ujar peneliti Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Akhmad Hanan dalam keterangannya dikutip Sabtu (11/11/2023). 

Baca Juga

Dari sisi regulasi, ujar Akhmad, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan sebagai dasar hukum kebijakan energi nasional. Program kebijakan mandatori biodiesel, misalnya, disoroti Akhmad sebagai keberhasilan implementasi regulasi Pemerintah. 

“Kita bisa melihat capaian dari bioenergi untuk EBT sangat signifikan karena Program Kebijakan Mandatori Biodisel dijalankan sejak 2016 hingga sekarang,” kata Akhmad. 

Di Indonesia, bahan baku biodiesel berasal dari minyak sawit (CPO). Dari sekitar 50 juta ton produksi CPO per tahun, kebutuhan untuk biodiesel mencapai sekitar 7,5 ton. 

Pemanfaatan CPO sebagai bahan baku biodiesel turut meningkatkan pendapatan petani secara langsung, terutama karena sekitar 40 persen perkebunan sawit di Indonesia merupakan perkebunan rakyat.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, kebijakan mandatori biodiesel berhasil mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara signifikan sekaligus memberi manfaat ekonomi yang terus meningkat. 

“Dalam upaya pengurangan emisi GRK, kebijakan mandatori biodiesel, mulai dari B20, B30, hingga B35 tahun ini, menjadikan kontribusi bioenergi sangat besar jika dibandingkan dengan EBT lainnya,” kata Akhmad.

Ia pun berharap, regulasi Pemerintah terbaru yaitu Peraturan Presiden nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dapat mendorong percepatan transisi energi secara signifikan. 

“Bioenergi dalam pembangkit listrik di tahun 2060 ditargetkan mencapai 60 GW (Target NZE), realitanya hingga tahun 2023 baru sekitar 3 GW. Jadi butuh effort luar biasa,” ujar Akhmad.

Ia juga berharap pemerintah menyusun regulasi yang komprehensif dan terintegrasi mengingat belum adanya peraturan khusus mengenai bioenergi. “Salah satu PR-nya bagi kita semua adalah bagaimana agar kebijakan fiskal dan non-fiskal bisa saling mendukung dari sisi produsen maupun konsumen dalam pengembangan bioenergi,” tegas Akhmad. 

Selain itu, dibutuhkan insentif pajak, subsidi, dukungan teknis, hingga pemasaran bioenergi. Akhmad kemudian mencontohkan Amerika Serikat dan Brazil yang sudah menerapkan skema tersebut. 

Pengembangan bioenergi secara efisien juga dapat didorong dari penelitian dan pengembangan kerjasama antara universitas, pemerintah, swasta, dan juga akademisi. “Saya harap pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi pilot project yang berjalan. Selain penghargaan yang lebih manusiawi, insentif itu dapat mendorong keberlanjutan pengembangan bioenergi ke depan.”

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement