REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Ribuan sukarelawan di Israel menjaring akun daring dan media sosial untuk mencari berita palsu dan misinformasi seputar perang negara tersebut dengan Hamas. Mereka ini yang menghadapi pertempuran lain dengan berada di dalam Digital Dome.
Sejak konflik meningkat sebulan yang lalu, kebohongan, ketidakbenaran, dan disinformasi telah memicu konflik di seluruh dunia. Misinformasi dan gambar fotorealistik palsu yang dibuat oleh AI mengenai perang tersebut diedarkan dan dibagikan kembali di media sosial, memicu emosi dan kemarahan yang kuat dari kedua sisi.
Untuk melawan perang informasi di dunia maya, sebuah organisasi pemantau disinformasi yang berbasis di Israel yang bernama FakeReporter menjalankan ruang perang yang dikelola oleh 2.500 sukarelawan di seluruh Israel. Tim ini didirikan oleh tim peneliti, aktivis, dan pakar Open Source Intelligence (OSINT).
Para relawan menandai dan melaporkan konten yang dinilai mencurigakan, jahat, dan vulgar ke platform itu sendiri. FakeReporter juga membantah narasi yang menyesatkan di media sosial.
Kepala komunikasi FakeReporter Yotam Frost mengatakan, perang antara Israel dan Hamas melampaui medan pertempuran, itu terungkap setiap hari di media sosial. “FakeReporter telah mengamati peningkatan disinformasi yang mengkhawatirkan, khususnya di X. Saat ini, melatih pemikiran kritis sangatlah penting untuk membedakan antara fakta dan opini," ujarnya dikutip dari AlArabiyah.
Saat ini, organisasi itu telah melihat banyak contoh dengan beredarnya postingan palsu dan penuh kekerasan di X. Dalam banyak kasus, komunitas memberikan konteks yang tepat melalui catatan komunitas.
“Hanya saja, meskipun sudah jelas bahwa postingan tersebut palsu, postingan tersebut tidak akan dihapus. Keputusan ini mencerminkan pilihan strategis X dan platform sosial lainnya," kata Frost.
Kondisi itu yang membuat FakeReporter dan pejabat senior di komunitas teknologi tinggi Israel menciptakan “Digital Dome” atau sebuah platform digital untuk melindungi publik dari konten berbahaya. “Inovasi ini bergantung pada kombinasi teknologi Kecerdasan Buatan dan laporan dari pengguna di semua platform, yang bertindak sebagai ‘mata di lapangan’," ujarnya.
Frost menyatakan, konsekuensi dari disinformasi dan misinformasi sangat besar. “Mereka menimbulkan ancaman serius terhadap demokrasi, melemahkan ketahanan sosial dan meningkatkan stres, kecemasan, kebencian, dan ekstremisme," ujarnya.
Menurut Frost, perputaran informasi dapat dengan mudah mempengaruhi proses militer, politik, dan diplomatik serta pengambilan keputusan yang sebenarnya. Ancaman tersebut lebih dari sekedar disinformasi karena menyerang fondasi masyarakat demokratis dan kemampuan individu untuk melakukan debat yang rasional dan berdasarkan fakta.
Saat ini, mereka berupaya menyaring sejumlah besar informasi yang dinilai tidak benar yang beredar di jagat maya. Frost mengatakan, hingga saat ini organisasi itu telah mengumpulkan lebih dari 20 ribu laporan berita palsu di media sosial.
Penyaringan awal dilakukan oleh relawan berdedikasi yang mengidentifikasi dan meneruskan konten yang jelas-jelas melanggar pedoman komunitas platform media sosial. Laporan tersebut kemudian disempurnakan lebih lanjut oleh tim terpisah sebelum diserahkan langsung ke platform.
Frost mengatakan, penyebaran informasi yang cepat saat ini bertentangan dengan proses penting penyelidikan menyeluruh, verifikasi, dan penyampaian informasi yang dapat dipercaya kepada publik. Dia memberikan contoh dengan seorang jurnalis Israel membagikan video lama yang memperlihatkan sebuah roket tidak berfungsi di langit, sehingga menimbulkan tuduhan bahwa Israel berusaha menutupi tindakannya.
Pada hari yang sama, halaman Facebook yang mengaku sebagai halaman resmi IDF menyombongkan diri dan mengaku bertanggung jawab atas ledakan tersebut, sehingga menyesatkan banyak orang.
“Sangat penting untuk menyadari bahwa platform media sosial memiliki kemampuan, baik dalam teknologi, sumber daya manusia, atau sumber daya keuangan untuk meminimalkan penyebaran disinformasi,” kata Frost.
Tapi Frost menyatakan, banyak yang memilih untuk tidak menerapkan langkah-langkah tersebut dan kebijakan yang ada gagal meminimalkan misinformasi dan disinformasi secara efektif. “Khususnya, platform seperti X telah mengurangi tim kepercayaan dan keselamatan mereka yang sudah sangat kekurangan staf," ujarnya.
FakeReporter didirikan sekitar tiga tahun lalu dan dijalankan oleh Achiya Schatz. Sebelum perang, lembaga ini fokus membantu orang-orang yang menjadi sasaran pelecehan daring karena berani menentang korupsi pemerintah.
Sebelum FakeReporter, Schatz adalah juru bicara sebuah organisasi bernama Breaking the Silence. Organisasi ini menerbitkan kesaksian anonim tentara Israel yang mengklaim bahwa mereka menyaksikan pelanggaran etika selama bertugas di Tepi Barat dan Gaza.
"Anggap saja ini sebagai Iron Dome digital, yang melindungi kita semua dan menggagalkan siapa pun yang mencarinya untuk menyakiti kita," ujar Schatz menjelaskan tentang kehadiran Digital Dome dikutip dari calcalistech.