REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tekanan dunia melakukan boikot perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel semakin meluas. Para aktivis dan warganet menggunakan Twitter dan Tiktok untuk mengungkap bagaimana perusahaan multinasional mendukung pendudukan Israel di Palestina.
Gerakan boycott, divestment, sanctions (BDS) atau boikot, divestasi, sanksi mengajak para pengikutnya untuk meninggalkan merek-merek besar tersebut karena keterlibatan langsung mendukung kekejaman Israel terhadap warga Palestina. Boikot yang ditargetkan terutama berfokus pada tiga besar, yakni McDonald's (McD), Starbucks, dan Disney.
Menurut ekonom syariah Irfan Beik, aksi boikot bisa dilakukan secara jangka panjang jika produk yang berafiliasi dengan Israel memiliki substitusi yang tinggi.
"Jadi, paling tidak memulai produk tertentu terutama yang memiliki substitusi yang tinggi, jadi jangka pendek produk yang memiliki substitusi tinggi maka produktivitas pemboikotan maka bisa berdampak signifikan," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (12/11/2023).
Menurutnya, jika perusahaan yang berafiliasi dengan Israel tercatat di bursa, hal yang wajar terjadi tekanan nilai saham. Selama ini beberapa negara beberapa perusahaan yang terafiliasi Israel mengalami penurunan dari nilai harga saham sehingga diharapkan bisa ikut membantu memberikan tekanan kepada Israel untuk memulai gencatan senjata.
Maka itu, pihaknya meminta masyarakat bisa menunjukkan keberpihakan kepada Palestina. Sebab bagaimanapun Indonesia berutang kemerdekaan kepada Palestina karena Palestina pada awal-awal mengakui negara Indonesia, sudah saatnya masyarakat Indonesia tidak melupakan mereka (Palestina) apalagi bertentangan UUD dan Pancasila.
"Sesuai pesan Bung Karno bersama Palestina sampai mendapatkan kemerdekaannya," ujarnya.
Sebelumnya, BDS mengajak memboikot perusahaan Israel dan internasional yang terlibat dalam tindakan pelanggaran hak-hak Palestina. Salah satunya adalah perusahaan multinasional penyedia produk rumah tangga, termasuk makanan dan minuman seperti Unilever. Unilever masuk dalam daftar boikot yang tersebar berbagai platform media sosial, termasuk di Indonesia. Masyarakat yang gencar mengampanyekan aksi boikot terhadap produk Unilever karena dianggap cenderung mendukung Israel dan tak langsung turut berpartisipasi dalam serangan di Gaza selama ini.
Jika dirunut kembali, dukungan Unilever kepada Israel sangat jelas ketika salah satu anak perusahaan Unilever Ben & Jerry’s pada 2021 memutuskan untuk berhenti menjual es krimnya di wilayah Palestina yang diduduki Israel, dengan alasan etis.
Namun, ternyata keputusan itu membuat Israel marah besar dan menganggap Unilever pro-Palestina, akhirnya CEO Unilever, Alan Jope, membuat pernyataan bahwa perusahaan tetap berkomitmen penuh untuk bisnisnya di Israel, dan menginvestasikan sekitar 306 juta dolar AS di negara tersebut dalam dekade terakhir.
Alan bahkan menyebut bahwa keputusan Ben & Jerry’s adalah keputusan independen yang dibuat oleh dewan direksi merek es krim tersebut, yang memiliki otonomi lebih besar daripada anak perusahaan lainnya. Diketahui, Ben & Jerry's sudah beroperasi di Israel sejak 1987. Unilever pun mengalihkan distribusi es krim Ben & Jerry dari tangan American Quality Products (AQP), distributor resminya di Israel, ke distributor lokal yang menjual es krim Ben & Jerry dengan merek bahasa Ibrani dan Arab.
Keputusan Unilever ini justru memicu kontroversi baru. Beberapa pihak mengeklaim bahwa Ben & Jerry's bergabung dalam gerakan BDS, yang bertujuan untuk mencabut hak Israel sebagai negara dan memiliki akar antisemitisme. Menanggapi hal itu Unilever pun secara tegas dalam keterangan resminya menolak sepenuhnya segala bentuk diskriminasi atau intoleransi, menurut keterangan resmi Unilever antisemitisme tidak memiliki tempat di masyarakat manapun.
"Kami tidak pernah menyatakan dukungan apa pun untuk gerakan Boikot Divestasi Sanksi (BDS) dan tidak berniat mengubah posisi itu," kata mereka.