Senin 13 Nov 2023 12:33 WIB

Kisah Pejuang yang Korupsi dan Taubatnya

Seorang pejuang bertaubat dari korupsi dan kembalikan hartanya.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Kampanye antikorupsi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Kampanye antikorupsi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pada zaman Muawiyah Radhiyallahu Anhu terdapat salah seorang pasukan perang yang melakukan korupsi. Akan tetapi, dia begitu menyesal dengan perbuatan yang dia lakukan. Untuk itu, dia pun terus berupaya agar taubatnya bisa diterima.

Seperti dikutip dari buku Fiqih ASN dan Karyawan oleh Ustaz Ammi Nur Baits, pada zaman Muawiyah Radhiyallahu Anhu, beliau mengirim satu pasukan yang dipimpin oleh Abdurrahman Khalid bin Walid. Ketika pasukan mendapatkan kemenangan, lalu kembali. Ada seseorang yang mengambil 100 dinar dari ghanimah dan dia sembunyikan. Setelah itu, ghanimah dibagi dan semua pasukan pulang. 

Baca Juga

Di tengah jalan, Mujahid ini menyesal. Lalu, dia mendatangi panglima pasukan, Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Dia sampaikan kepada panglima pelanggaran yang dia lakukan dan dia ingin mengembalikan uang itu. Namun, Abdurrahman menolak.  

“Aku tidak bisa menerima darimu. Pasukan sudah bubar, mereka sudah pulang. Kau akan memikulnya menghadap Allah di hari kiamat.” 

Akhirnya, Mujahid ini mendatangi beberapa sahabat, dan mereka memberikan jawaban yang sama. Hingga dia berangkat ke Damaskus menemui Muawiyah Radhiyallahu Anhu untuk mengembalikan 100 dinar itu. Namun, Muawiyah menolak. Hingga dia keluar dari tempat Muawiyah dalam kondisi menangis, sambil mengucapkan 'innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun'. 

Saat dia menangis dan menyesali perbuatannya, dia ketemu seorang ulama bernama Abdullah as-Saksaki. Dia pun menceritakan pengalamannya kepada ulama ini. Lalu, sang ulama menasihatkan, “Silakan kembali ke Muawiyah, sampaikan kepadanya agar beliau menerima 1/5 dari 100 dinar, sehingga serahkan 20 dinar kepadanya. Lalu, sedekahkan yang 80 dinar sisanya atas nama seluruh pasukan. Sesungguhnya Allah menerima taubat dari hamba-Nya dan Dia paling tahu siapa saja mereka dan di mana tempat tinggalnya.” 

Akhirnya, sang Mujahid melakukan saran ini. Muawiyah pun menerima 20 dinar itu, dan mengatakan, 

“Andai aku yang memberikan fatwa itu, lebih aku sukai dibandingkan semua harta yang aku miliki” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/208).

Kisah ini memberikan pelajaran tentang bagaimana cara taubat dari hasil korupsi atau harta ghulul. Allahu a'lam. 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement