REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono menjelaskan bahwa boikot adalah gerakan non kekerasan yang legal. Boikot merefleksikan etika dan moral konsumen dalam keputusan membeli dan konsumsi. Secara empiris, tidak ada keputusan ekonomi yang tidak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu.
Yusuf mengatakan bahwa seluruh aktivitas ekonomi adalah value chain dan untuk setiap rantai nilai itu konsumen turut bertanggungjawab. Keputusan membeli dan konsumsi adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan moral mereka.
"Boikot kepada Israel terbenarkan karena lebih tujuh dekade Israel secara konsisten menunjukkan kejahatan dan kebijakan apartheid-nya atas Palestina," kata Yusuf kepada Republika, Kamis (14/11/2023)
Ia menegaskan, banjir kecaman dan kutukan masyarakat dunia tidak pernah merubah sedikitpun kebijakan dan sikap Israel dalam penjajahannya atas Palestina.
"Boikot akan melemahkan kekuatan Israel, ketika boikot menjadi gerakan sistematis jangka panjang, bukan kerumunan sporadis jangka pendek," ujar Yusuf.
Pakar ekonomi syariah ini menyampaikan, boikot ekonomi bertujuan memberi tekanan kepada Israel agar menghentikan pendudukannya atas wilayah Palestina, memberi hak-hak warga Palestina secara penuh dan mengizinkan pengungsi Palestina untuk kembali ke Tanah Air mereka.
Logika boikot adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi atau dialog. Strategi diplomasi untuk mencapai hak-hak bangsa Palestina selama ini terbukti gagal karena Israel menikmati proteksi dan imunitas hegemoni kekuatan dunia. Logika dialog dan persuasi terhadap Israel menunjukkan kebangkrutannya karena tidak ada efek jera bagi Israel tentang mengerikannya penjajahan, bahkan penindasan Israel justru makin meningkat.
"Boikot adalah ekspresi dari pilihan moral konsumen yang sah dan legal, tidak heran jika boikot sebagai ekspresi perlawanan non kekerasan atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel, tidak hanya terjadi di Indonesia saja," jelas Yusuf.
Lihat halaman berikutnya >>>