Selasa 14 Nov 2023 14:12 WIB

4 Pulau Ini tidak Lagi Bisa Dihuni Akibat Perubahan Iklim

Keempat pulau ini rawan tenggelam dampak dari perubahan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kepulauan Maladewa menjadi salah satu wilayah yang tidak bisa lagi dihuni karena rawan untuk tenggelam akibat perubahan iklim.
Foto: Anadolu Agency
Kepulauan Maladewa menjadi salah satu wilayah yang tidak bisa lagi dihuni karena rawan untuk tenggelam akibat perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar satu juta orang tinggal di karang atol, seperti di Maladewa, Tuvalu, Kiribati, dan Kepulauan Marshall. Pulau-pulau ini hanya memiliki ketinggian beberapa meter, menjadikannya beberapa tempat yang paling berisiko terkena dampak kenaikan permukaan air laut yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Lima pulau tak berpenghuni di Kepulauan Solomon telah lenyap di bawah ombak dalam satu abad terakhir.

Maladewa, Kiribati, Tuvalu, dan Kepulauan Marshall memiliki persentase tertinggi dari wilayah daratan mereka yang berisiko karena semuanya adalah atol. Negara-negara lain juga memiliki pulau-pulau dataran rendah, tetapi memiliki lebih banyak tempat yang lebih tinggi yang dapat digunakan sebagai tempat mengungsi.

Baca Juga

Jadi, pulau-pulau dataran rendah mana yang paling berisiko tenggelam dan tidak dapat dihuni akibat perubahan iklim? Berikut uraiannya menurut para ilmuwan seperti dilansir Live Science, Selasa (14/11/2023).

 

1. Mainadhoo, Huvadhoo Atoll, Maladewa

Para ilmuwan sebetulnya belum memiliki data ketinggian yang akurat untuk pulau-pulau termasuk Mainadhoo, dan kalaupun ada, informasi tersebut tidak dapat memprediksi kapan pulau tersebut akan tenggelam. Namun, sebuah studi tahun 2018 yang mempelajari pulau Mainadhoo mengungkap bahwa pasir dapat menumbuhkan pulau-pulau terumbu karang di sana.

Akan tetapi, pemanasan global telah mengancam ekosistem terumbu karang. Pada suhu 2 derajat Celsius, 99 persen terumbu karang akan mati. Pada suhu 1,5 derajat Celsius, beberapa karang masih bisa bertahan, tapi kesehatannya akan menentukan pulau mana yang dapat mengimbangi pasang surut air laut.

 

2. Pulau Roi-Namur, Kwajalein Atoll, Republik Kepulauan Marshall

Sebuah makalah tahun 2018 di Science Advances menganalisis banjir di Roi-Namur di Kepulauan Marshall. Diperkirakan bahwa sebagian besar pulau-pulau atol tidak akan memiliki air minum pada 2060-an jika target iklim global tidak tercapai, atau pada tahun 2030-an jika lapisan es mencair dalam skenario terburuk untuk perubahan iklim. Ribuan penduduk Kepulauan Marshall telah bermigrasi.

 

3. Mundoo, Laamu Atoll, Maladewa

Banyak penduduk pulau yang beradaptasi, bahkan meskipun mengalami banjir besar, sehingga mendefinisikan layak huni saja sudah sulit. Hanya selebar beberapa blok di ujung terlebar, pulau Mundoo di Maladewa memiliki sekolah, pantai yang indah, dan sejumlah tim olahraga. Pulau ini hanya dihuni kurang dari 200 orang, tetapi jumlah itu pun cukup mengejutkan.

Pada 2004, banjir meluluhlantakkan Mundoo dan pulau tetangganya, Kalhaidhoo. Pemerintah mengumumkan bahwa kedua pulau tersebut tidak akan berpenghuni pada masa mendatang. "Mundoo pada dasarnya tidak menerima investasi dari sektor publik," kata Geronimo Gussmann, seorang peneliti di Global Climate Forum.

Namun, banyak keluarga Mundoo yang pindah kembali. Pulau-pulau yang tidak memiliki dana dari pemerintah pusat, kata Gussmann, mungkin akan menjadi pulau yang tidak berpenghuni terlebih dahulu, tapi kemauan politik dapat membawa kejutan.

 

4. Fongafale, Funafuti Atoll, Tuvalu

Pulau-pulau di perkotaan menerima lebih banyak investasi dibandingkan dengan pulau-pulau di pedesaan, tetapi mereka juga menghadapi tantangan. Tuvalu, pulau Fongafale yang merupakan ibu kota, adalah rumah bagi sekitar 4.000 orang. Pada 2100, 95 persen dari pulau ini dapat terendam banjir saat air laut pasang.

Untuk mengatasi hal ini, Tuvalu menambahkan dataran tinggi buatan di salah satu sisi pulau. Rencana jangka panjangnya adalah membuat pulau ini menjadi lebih lebar sekitar 50 persen, kemudian meninggikan kedua sisinya.

Namun, analisis tahun 2022 terhadap berbagai faktor risiko menemukan bahwa upaya perlindungan ini mungkin tidak akan membuat pulau-pulau tersebut tetap layak huni: menurunnya ekosistem akan merusak pariwisata, perikanan, dan kemampuan penduduk pulau untuk mendanai solusi. Skala dan kecepatan upaya global untuk membatasi perubahan iklim akan membuat perbedaan yang nyata. Pada akhirnya, pulau dan masyarakat kepulauan mana yang dapat bertahan akan sangat bergantung pada bagaimana seluruh dunia merespons.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement