REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Salah seorang warga Palestina di Gaza, Nidaa Moien, menceritakan apa yang dialaminya selama berada di Gaza saat ini. Perempuan berusia 32 tahun dan keluarganya termasuk di antara puluhan ribu warga Palestina yang tidak bisa meninggalkan rumah mereka di Kota Gaza karena gencarnya pengeboman Israel selama beberapa pekan.
Dia menyadari, berbahaya jika tetap tinggal di Kota Gaza, tetapi dia juga memahami bahwa menuju ke selatan bukanlah pilihan yang lebih aman.
"Sebagian besar orang masih di sini, banyak kerabat saya yang belum meninggalkan rumah mereka, dan kami bahkan melihat orang-orang yang meninggalkan rumah mereka di bagian lain Kota Gaza datang ke lingkungan kami meskipun kondisinya juga tidak aman," kata Moien kepada Middle East Eye, Rabu (15/11/2023).
Moien juga mengontak kerabatnya yang mengungsi. "Saat saya menelepon teman-teman saya yang mengungsi dari rumahnya ke wilayah selatan, saya merasa tinggal di belahan dunia yang berbeda. Kami benar-benar merasa terisolasi meski terpisah jarak beberapa kilometer," tambahnya.
Pada hari pertama perang besar-besaran Israel di Gaza, Moien, suaminya, dan anaknya yang berusia dua bulan meninggalkan rumah mereka untuk berlindung di rumah mertua mereka di lingkungan terdekat.
Kemudian, selama pengungsian massal penduduk Jalur Gaza bagian utara dan Kota Gaza pada 13 Oktober setelah ultimatum Israel selama 24 jam agar lebih dari satu juta warga sipil harus pergi, dia dan mertuanya meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan di Khan Younis di selatan.
Namun, mereka kembali sepekan kemudian setelah menyaksikan "malam paling kejam" pengeboman Israel di sana.
"Kami pikir tidak perlu tinggal di sana sementara intensitas pengeboman masih sama. Tetapi yang terpenting, kami tidak dapat tinggal lebih lama karena jumlah pengungsi yang mengungsi di rumah kerabat kami banyak, dan persediaan makanan dan air terbatas. Kami pikir lebih baik kembali ke rumah, di mana kami punya persediaan makanan dan sedikit air," tuturnya.
Moien mengatakan, yang paling dikhawatirkannya adalah makanan yang dikonsumsi tidak akan terisi kembali, karena pasar kelontong di sekitar mereka tutup dan mereka tidak bisa keluar rumah.
"Seringkali, kami bahkan tidak bisa mendekati jendela, takut ada penembak jitu di dekat lingkungan kami. Kami tidak bisa meninggalkan rumah karena alasan apa pun. Bahkan jika kami pergi, kami tidak akan menemukan pasar yang masih buka," ucapnya.