REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Beberapa negara Barat telah meminta agar Israel mengizinkan mereka membawa bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza melalui penyeberangan Kerem Shalom yang menghubungkan antara Israel dan Gaza. Hanya saja, Tel Aviv menentang gagasan tersebut meski usulan ini akan memperlancar dan mempercepat kedatangan bantuan ke penduduk Palestina.
Terlepas dari tekanan yang diterapkan oleh negara-negara Barat, sumber-sumber Israel mengatakan, bahwa pemerintah keberatan karena ingin melepaskan tanggung jawab apa pun atas masalah sipil di Jalur Gaza. Bantuan kemanusiaan yang saat ini masuk ke Jalur Gaza seluruhnya datang melalui Penyeberangan Rafah di perbatasan antara Gaza dan Mesir.
Tapi, proses ini pun harus melewati pemeriksaan keamanan di Israel, yang sebagian besar dilakukan di Penyeberangan Nitzana di perbatasan Israel-Mesir. Dalam beberapa hari terakhir, karena kelebihan beban di lokasi pengecekan, opsi pengecekan beberapa barang di kawasan Kerem Shalom sedang dipertimbangkan.
Sebuah sumber yang terlibat dalam masalah ini menjelaskan kepada Haaretz, bahwa penyeberangan di Nitzana relatif kecil dan jumlah truk yang membawa bantuan terus meningkat. Negara-negara Barat yang mengajukan permohonan kepada Israel mengungkapkan rasa frustrasinya.
Mereka sangat tertekan dengan proses pemeriksaan keamanan di Israel, kemudian bantuan kembali ke wilayah Mesir, dan dari sana memasuki Gaza melalui Rafah. Proses ini menyebabkan penundaan kedatangan bantuan yang signifikan.
“Jika mereka akan memeriksa barang-barang di Kerem Shalom, hal yang paling logis adalah membawa barang-barang tersebut melalui sana,” kata seorang diplomat Barat yang mengetahui pembicaraan mengenai masalah tersebut.
“Kami memahami posisi Israel, hanya saja ada upaya untuk mencegah bencana kemanusiaan di Gaza. Jika ada ribuan orang lagi yang meninggal di sana, atau semoga epidemi tidak terjadi, dunia akan menyalahkan Israel. Anda berkepentingan untuk menyederhanakan bantuan tersebut," ujarnya.
Penentangan Israel didasarkan pada posisi profesional para petinggi keamanan yang percaya bahwa Israel harus memutuskan semua hubungan dengan kehidupan sipil di Gaza. Di samping itu ada ketakutan di antara orang-orang yang dekat dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa persetujuan Israel terhadap permintaan tersebut akan menyebabkan kehancuran koalisi dengan partai Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir.
Para tokoh keamanan yang menentang usulan tersebut percaya bahwa ada cara lain untuk menyederhanakan pengiriman bantuan ke Jalur Gaza, tanpa harus memindahkannya secara langsung antara Israel dan Gaza. Pada saat yang sama, para diplomat Eropa mengatakan, beberapa proposal bantuan kemanusiaan yang disebutkan dalam beberapa hari terakhir masih sulit untuk membuahkan hasil, meskipun tokoh-tokoh senior Israel menyebutkannya secara terbuka.
Contoh saja Israel beberapa kali merujuk pada keinginan negara-negara Eropa untuk membawa kapal rumah sakit ke wilayah tersebut. Namun negara-negara yang terlibat tidak dapat menemukan tempat yang cocok untuk berlabuh.
“Di lepas pantai Gaza berbahaya. Itu adalah zona pertempuran. Di pelabuhan Ashdod, tempat paling netral, Israel akan keberatan. Kami sedang mencoba keluar dari Mesir, tetapi ada kesulitan juga di sana," ujar salah satu diplomat menjelaskan.
Israel telah mengubah sikap publiknya terhadap isu bantuan kemanusiaan dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel, akibat tingginya jumlah korban jiwa di Gaza, kehancuran yang meluas di Jalur Gaza, dan meningkatnya tekanan masyarakat yang mengungsi ke selatan dari Gaza City.
Tapi, para diplomat setuju dengan penilaian Menteri Luar Negeri Eli Cohen bahwa tekanan internasional terhadap Israel akan meningkat dalam beberapa hari mendatang. Kondisi ini akan terjadi terutama karena kekhawatiran akan terjadinya bencana kemanusiaan di Gaza.