Rabu 15 Nov 2023 19:59 WIB

Masalah Emosi Erat Kaitannya dengan Fenomena Barcode Korea

Fenomena Barcode Korea tidak bertujuan hingga menghilangkan nyawa.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Indira Rezkisari
Psikolog tegaskan perlu kerja sama semua pihak dalam menghadapi fenomena Barcode Korea.
Foto: Pixabay
Psikolog tegaskan perlu kerja sama semua pihak dalam menghadapi fenomena Barcode Korea.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Fenomena 'Barcode Korea' saat ini tengah menyelimuti generasi muda Indonesia. Kondisi ini pun turut ditanggapi oleh Dosen Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hudaniah.

Hudaniah menilai, istilah 'Barcode Korea' yang dibuat oleh seseorang ini kemungkinan ditunjukkan untuk mempopulerkan sesuatu perilaku yang sebenarnya itu tidak diharapkan. "Tetapi diberi nama yang saat ini seperti keren. Misalnya yang berbau Korea itu kan sekarang menarik minat remaja, maka dibuat istilah keren," kata Hudaniah saat dihubungi Republika, Rabu (15/11/2023).

Baca Juga

Perempuan berhijab ini tidak tahu siapa yang mencetuskan istilah tersebut. Namun dia khawatir istilah ini sengaja dimunculkan oleh orang tidak bertanggung jawab yang ingin merusak mental para remaja. Oknum tersebut seolah-olah ingin membuat istilah keren padahal maknanya sangat menghawatirkan.

Dalam ilmu psikologi, 'Barcode Korea' lebih merujuk pada perilaku melukai diri sendiri yang tidak bertujuan untuk bunuh diri atau self harm. Tindakan ini biasanya dilakukan hanya untuk merasakan sakit di fisik. Pelaku ingin mengalihkan sakit psikologisnya ke fisik, yang sesungguhnya ini bukan cara sehat untuk mengatasi masalah emosi.

Menurut Hudaniah, tindakan ini sebenarnya dapat dilakukan siapa pun, baik anak-anak, remaja maupun dewasa. Namun karena tekanan psikologis, temuan ini lebih banyak di usia remaja. Sebagaimana diketahui, kalangan ini masih dalam proses belajar untuk mengatasi persoalan psikologis.

Pada dasarnya, self harm atau 'Barcode Korea' lebih merujuk pada kemampuan orang yang tidak dapat mengelola emosi dengan strategi positif. Sebab itu, pelaku lebih memilih untuk memindahkan masalah psikologisnya ke fisik dengan harapan dapat mengatasi masalah emosinya. Padahal cara ini tidak menyelesaikan akar masalah yang dihadapinya.

Penyebab seseorang menyakiti diri sendiri terdiri atas beberapa faktor. Mereka melakukan tindakan tersebut dapat karena masalah akademik, keluarga, pertemanan dan pencapaian diri yang tidak sesuai harapan.

"Jadi ketika seseorang kemampuan manajemen emosinya kurang efektif, mereka ambil cara cepat. Rasanya lebih lega saja tetapi persoalannya tidak selesai, bahkan ada kecendrungan berulang-ulang. Kenapa diulang? Karena persoalan belum selesai, cuma kamuflase," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement