REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyatakan, bisnis ritel masih belum pulih 100 persen saat ini. Seperti diketahui, sektor tersebut terdampak cukup dalam sejak pandemi Covid-19 pada 2020.
"Industri atau ritel modern sampai hari ini belum pulih 100 persen. Kita masih dalam anomali," ujar Roy dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Meski pandemi telah usai, sambungnya, namun kini muncul berbagai tantangan. Tantangan itu dari dalam negeri maupun global.
"Setelah pandemi 2,5 tahun menggerus ritel modern kita dihadapkan dengan berbagai case dan peristiwa tidak hanya di dalam negeri tapi juga global," ujarnya.
Ia menyebutkan, tantangan yang mempengaruhi bisnis ritel di antaranya, permasalahan geopolitik, anomali di sektor keuangan, serta ancaman perubahan iklim atau climate change.
Roy melanjutkan, inflasi di berbagai negara pun masih tinggi. Maka, banyak negara maju yang berusaha menjaga inflasinya, salah satunya Fed Fund Rate (FFR) di Amerika Serikat yang menaikkan suku bunga di posisi lima persenan.
Dinaikkannya suku bunga tersebut menurut Roy dapat mempengaruhi suplai dan permintaan sektor ritel modern secara global.
"Inflasi ini menjdi permasalahan yang tidak cepat selesai. Ada supply yang terganggu, karena supply-nya kurang maka demand-nya terganggu," jelas dia.
Walau demikian, Aprindo berharap, pertumbuhan industri ritel bisa mencapai 4,2 persen tahun ini. Sebelumnya pada tahun lalu tumbuh sekitar 3,8 persen sampai 3,9 persen.
"Mudah-mudahan tumbuh 4,2 persen tahun ini sudah bagus. Dengan catatan, kita boleh optimistis tapi tetap waspada," ujar Roy.
Menurutnya, target pertumbuhan ritel itu bisa dicapai, sepanjang kondusivitas terjaga. Ia menyebutkan, kondusivitas yang dimaksud ada dalam dua aspek.
Pertama, kondusivitas menuju Pemilu 2024. Roy mengingatkan agar masyarakat berpolitik dengan dewasa selama tahun politik. Kedua, kestabilan pasokan dan harga pangan.