Rabu 15 Nov 2023 22:42 WIB

Guru Besar IPB: Rehabilitasi Hutan Harus Libatkan Masyarakat

Hutan tetap boleh ditanami dengan sawit seluas 60-70 persen dari luas lahan.

Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu (10/8/2022). Warga setempat menyebutkan, tinggi muka air sungai selama musim pasang naik sejak tiga tahun terakhir di daerah itu terus meninggi sehingga mulai merendam kawasan permukiman setempat, sementara alih fungsi tanaman mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar di daerah itu terus bertambah marak sejak lima tahun terakhir.
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu (10/8/2022). Warga setempat menyebutkan, tinggi muka air sungai selama musim pasang naik sejak tiga tahun terakhir di daerah itu terus meninggi sehingga mulai merendam kawasan permukiman setempat, sementara alih fungsi tanaman mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar di daerah itu terus bertambah marak sejak lima tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Yanto Santosa mengatakan bahwa pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam merehabilitasi hutan, yakni dengan menanam tanaman yang secara ekologis bagus, sekaligus menguntungkan secara ekonomi.

“Saya menyarankan agar hutan-hutan yang rusak dikavling-kavling, jadikan sebagai lahan usaha masyarakat sekitarnya,” kata Yanto kepada ANTARA saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/11/2023).

Baca Juga

Ia mengatakan bahwa kawasan hutan tetap boleh ditanami dengan sawit seluas 60-70 persen dari luas lahan. Lahan yang tersisa dapat ditanami dengan pohon yang asri dan unggulan setempat.

“Contohnya di Sulawesi pohon kayu hitam, pohon meranti di Kalimantan, dan lain sebagainya,” ucap Yanto.

Yanto menekankan bahwa sawit tetap harus dicampur dengan tanaman hutan lainnya, sehingga tidak terjadi monokultur. Selain itu, campuran dengan tanaman hutan lainnya juga bertujuan untuk melestarikan tanaman-tanaman unggulan atau tanaman-tanaman asri setempat.

Dengan demikian, ujar Yanto melanjutkan, akan terbentuk wanatani atau agroforestry.

“Artinya, selain tanaman kayu, ada hasil yang bisa diambil setiap bulan,” ucap dia.

Yanto mengungkapkan, berdasarkan sejumlah penelitian yang ia lakukan, keterlibatan masyarakat dapat dipancing oleh motivasi ekonomi.

“Saya sudah penelitian di mana-mana tentang masyarakat, simpulan saya, masalah ekonomi adalah driver utama,” kata Yanto.

Oleh karena itu, Yanto mengatakan agroforestry merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam menjaga keberlangsungan hutan. Masyarakat dapat memetik dan menjual hasil panen tanaman sawit setiap bulan sembari menjaga kelestarian hutan kayu.

“Maka tidak akan ada kebakaran, karena ditungguin hutannya. Kayunya juga akan terjaga karena masyarakat mengunjungi sambil nengok sawitnya,” kata Yanto.

Yanto juga memberi alternatif tanaman bernilai ekonomis yang dapat mengganti sawit, seperti pohon aren atau karet.

“Tetapi, saat ini, harus diakui bahwa tanaman palma yang bagus karena hasilnya dan dibeli dengan wajar,” ucap Yanto.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement