REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) berharap aksi boikot masyarakat terhadap produk yang dinilai pro-Israel tidak berlangsung terlalu lama. Itu karena, dapat memengaruhi daya beli masyarakat dan berdampak ke industri dari hulu sampai hilir.
"Kalau ini terjadi terus-menerus, mungkin transaksi di pasar hilir bisa berkurang sampai 50 persen. Target ekonomi pemerintah pun akan sulit tercapai," ujar Sekretaris Jenderal AP3MI Uswati Leman Sudi dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Ia menjelaskan, penurunan tersebut bisa terjadi karena mayoritas barang dalam daftar boikot tersebut merupakan produk pareto. Perlu diketahui, produk pareto merupakan barang yang berkontribusi sampai 80 persen dari produksi di pasar, namun kontribusi ke transaksi hanya 20 persen.
Produk pareto meliputi produk konsumer seperti shampo, susu balita, dan minuman ringan. "Pengurangan penjualan produk pareto biasanya dari isu yang kecil dan berkembang," katanya.
Ia mengakui, sampai kini dampak aksi boikot tersebut belum terlihat karena baru berjalan kurang dari sepekan atau sekitar lima sampai enam hari. Hanya saja, lanjut dia, efeknya bisa sampai ke pabrikan.
Dampak terburuk dari program boikot tersebut, kata Uswati, yaitu pengurangan tenaga kerja di sektor manufaktur. Namun demikian, Uswati menegaskan pabrikan tidak menentang aksi boikot yang dilakukan oleh masyarakat.
Dirinya pun menjelaskan berbagai produk dengan merek yang diboikot telah diproduksi di dalam negeri dan pabrikan tidak memberikan sumbangan langsung kepada Israel. Ia pun menanti kehadiran pemerintah guna mengatasi kondisi ini.
"Kami menanti pemerintah hadir supaya bisa menegaskan dampak boikot, agar tidak gamang," tuturnya.
Jika keadaan ini dibiarkan, sambung Uswati, hak konsumen untuk memilih produk sesuai kebutuhan dapat terabaikan. Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun, kata dia, bisa terjadi. Itu karena tidak adanya permintaan dari konsumen.