REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca perdagangan Indonesia berlanjut pada Oktober 2023 sebesar 3,48 miliar dolar AS. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada September 2023 sebesar 3,41 miliar dolar AS.
"Bank Indonesia memandang perkembangan ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (15/11/2023).
Dia memastikan, Bank Indonesia ke depan akan erus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain. Hal tersebut dilakukan untuk terus meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Surplus neraca perdagangan Oktober 2023 bersumber terutama dari berlanjutnya surplus neraca perdagangan nonmigas yang mencapai 5,31 miliar dolar AS. Surplus tersebut relatif stabil dibandingkan dengan capaian pada bulan sebelumnya sebesar 5,33 miliar dolar AS.
Kinerja positif tersebut didukung oleh tetap kuatnya ekspor nonmigas terutama komoditas batubara, produk logam mulia dan perhiasan, serta produk manufaktur alas kaki dan besi baja. Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke China, Amerika Serikat, dan India tetap menjadi kontributor utama ekspor Indonesia.
Sementara itu, impor nonmigas tetap kuat sejalan dengan berlanjutnya perbaikan aktivitas ekonomi. Selain itu, defisit neraca perdagangan migas tercatat sedikit menurun menjadi 1,84 miliar dolar AS pada Oktober 2023 sejalan penurunan impor migas yang lebih dalam dari penurunan ekspornya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai surplus neraca perdagangan pada Oktober 2p23 tersebut terbilang semu. "Surplusnya semu ya kalau dicek ekspor turun tajam, impor juga turun. Jadi model surplus ini jauh dari kata berkualitas," kata Bhima kepada Republika.co.id, Rabu (15/11/2023).
Dia menuturkan, ekspor Indonesia pada periode tersebut turun karena terlalu mengandalkan pasar tradisional. Selain itu, Bhima menuturkan Indonesia juga masih mengandalkan komoditas olahan primer sehingga membuat ekspor juga terlihat turun.
"Betul kita sedang hilirisasi tapi sebenarnya baru setengah jadi yang nilai tambahnya kecil," ucap Bhima.
Selain itu, Bhima menyebut, Indonesia juga masih hanya mengandalkan pasar tradisional seperti China yang cukup berat dalam lima tahun kedepan. Sementara itu, Bhima mengatakan rebalancing ekonomi China juga amat merugikan permintaan ekspor Indonesia.
Bhima menambahkan, bahan baku impor yang turun juga menjadi peringatan karena mencerminkan industri manufaktur di luar pengolahan nikel sedang melambat. "Produsen makanan minuman mulai PHK karyawan. Itu tanda-tanda kurang baik," ucap Bhima.