REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buldoser Israel menghancurkan monumen peringatan mantan presiden Palestina, Yasser Arafat, di Tulkarem, wilayah pendudukan Tepi Barat. Para ahli mengatakan, penghancuran warisan budaya yang disengaja selama konflik dapat dianggap sebagai kejahatan perang.
Dalam sebuah video yang diunggah Aljazirah, Rabu (15/11/2023), buldoser Israel meratakan monumen peringatan Yasser Arafat. Monumen peringatan tersebut roboh dan hancur berkeping-keping.
This is the moment an Israeli bulldozer destroyed a memorial to former Palestinian president Yasser Arafat in the occupied West Bank.
Scholars say the deliberate destruction of cultural heritage during conflict can constitute a war crime ⤵️ pic.twitter.com/3QFTYAhxuk
— Al Jazeera English (@AJEnglish) November 15, 2023
Arafat melambangkan kebangkitan Palestina, melalui kombinasi perjuangan bersenjata dan diplomasi, di panggung internasional sebagai kekuatan independen. Arafat lahir pada 1929. Ia mendirikan gerakan Fatah pada akhir 1950-an, dengan tujuan untuk menggalang orang-orang Palestina yang diusir dari Israel dalam peristiwa Nakba pada 1948 untuk mengangkat senjata.
Organisasi yang didirikan Arafat melakukan beberapa serangan dari berbagai wilayah Arab, namun setelah perang pada Juni 1967, ketika Israel mengalahkan tentara Mesir, Suriah, dan Yordania dalam hitungan hari, peran sentral Fatah semakin menguat. Pesan yang disampaikan adalah rakyat Palestina harus mengendalikan perjuangan mereka sendiri dan tidak memberikan mandat kepada Pemerintah Arab manapun untuk berurusan dengan Israel. Masyarakat Palestina terkejut atas kekalahan Arab, yang membuat Israel menduduki Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan di Suriah.
Pada 1969 Arafat dan Fatah mengambil alih Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dibentuk oleh Liga Arab lima tahun sebelumnya. Arafat secara efektif mendeklarasikan kemerdekaan Palestina dari para penguasa di kawasan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai faksi bersenjata PLO mengembalikan istilah Palestina ke dalam leksikon media internasional melalui serangkaian tindakan kekerasan tingkat tinggi yang banyak menargetkan warga sipil Israel, termasuk pengeboman dan serangan lintas batas.
Keputusan Arafat untuk menerima prinsip kenegaraan Palestina bersama dengan Israel membuka pintu diplomatik di Washington, meskipun hal tersebut mendapat tentangan dari faksi-faksi Palestina lainnya. Perundingan rahasia antara perwakilan Arafat dan mitra bicara Israel di Ibu Kota Norwegia, Oslo, menghasilkan terobosan Perjanjian Oslo tahun 1993.
Kesepakatan Oslo memberi Palestina kedaulatan teritorial terbatas dan kendali parsial atas urusan sipil di Tepi Barat dan Gaza. Perjanjian tersebut disahkan melalui jabat tangan bersejarah di Gedung Putih antara Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin.
Arafat terpilih dengan suara mayoritas sebesar 83 persen sebagai presiden otoritas Palestina dan menjadi tokoh penting di sirkuit diplomatik internasional.
Namun ketidakpercayaan antara Arafat dan Israel semakin meningkat...