REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Sejumlah pihak mempertanyakan netralitas Polri menjelang Pemilu 2024. Namun, Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES), Juhaidy Rizaldy menyebut, bahwa netralitas Polri tak perlu diragukan untuk pesta demokrasi lima tahunan.
Rizaldy menjelaskan, Polri juga sudah ada mekanisme khusus apabila anggotanya terindikasi melanggar aturan atau terlibat dalam kecurangan pemilu.
"Soal netralitas jelas, ada rulesnya, apabila ada indikasi banyak kanalnya untuk disalurkan apakah itu lewat etik atau pidana. Jadi tidak perlu lagi ada kekhawatiran soal netralitas polri. Polri tetap netral dan tidak bisa memihak," kata Rizaldy kepada wartawan, Kamis (16/11/2023).
"Apabila ada indikasi kecurangan terlibatnya alat negara yang terstruktur, sistematis dan masif , bisa juga dibawa ke Bawaslu dalam konteks kecurangan TSM nantinya, dan/atau kanal hukum pemilu lainnya," tambahnya.
Rizaldy mengatakan, institusi Polri sejak awal sudah netral dalam kegiatan politik praktis. Anggotanya pun sudah terikat untuk tidak bisa terlibat dalam segala hal politik praktis sebagaimana dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
"Kalau ada indikasi tidak netral, anggota polri bisa dilaporkan ke etik sesuai Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri," ujarnya.
"Dan penegakan kode etik Polri sekarang tertemuka dan profesional, salah satu peradilan etik lembaga negara yang terkemuka di Indonesia," sambungnya.
Rizaldy mempertanyakan jika ada usulan pembentukan Panitia Kerja Polri dari DPR. Menurutnya, hal itu hanya sia-sia lantaran Polri sedang fokus mengamankan pemilu agar kondusif.
"Kalau pun, dibentuk Panja, apa tujuannya, dan hasilnya akan bentuk apa? agar tidak sia-sia ada Panja tersebut. Agar jelas, Pemilu sudah semakin dekat, Polri banyak tugas dan harus fokus mengamankan pemilu agar damai, tertib dan kondusif," ujarnya.
Rizaldy melanjutkan, saat ini Polri sedang banyak tugas untuk mengamankan pemilu dari hulu hingga hilir. Kata dia, hampir semua aspek dalam pemilu Polri terlibat dalam hal pengamanan dan ketertiban.
"Karena Panja itu kan adalah sebuah kepanitiaan yang diberi tugas oleh AKD (komisi atau badan) di DPR untuk menangani suatu hal yang menjadi sorotan publik. Dalam perkembangan terkini, panja juga dapat dibentuk untuk membahas suatu rancangan undang-undang (RUU)," tuturnya.
Rizaldy mewajari bila ada saling tuding ditahun politik, salah satunya mengenak isu netralitas. Namun, dia khawatir hal itu justru membuat partisipasi publik di pemilu menjadi minim. Dia berharap, tahun 2024 nanti tingkat golput makin rendah dan seluruh WNI berpartisipasi pada hari pemilihan.
"Isu dan/atau tudingan dirunah publik itu memang hal yang wajar dan lumrah terjadi dalam pemilu, apalagi kalau isu tersebut dikaitkan dengan salah satu calon," ungkapnya.
"Bisa jadi Pemilu minim partisipasi, apabila banyak tudingan yang serius dan mampu merusak tatanan demokrasi, meskipun di 2019 paling rendah tingkat golput dibanding 2004, 2009, 2014," tutup Rizaldy.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman menolak pembentukan Panja Netralitas Polri. Kata dia, akan bikin bingung kalau DPR membentuk Panja untuk setiap lembaga negara.
Sebagai anggota Komisi III, Habiburokhman mengaku siap ke mana saja menegur perwira Polri yang tidak melaksanakan dengan baik. Menurutnya Panja tidak diperlukan, karena selama ini tidak pernah ada Panja terkait pemilu.
"Kalau ada Kapolres yang saya anggap tidak melaksanakan tugas dengan baik, saya bisa hubungi mengingatkan yang bersangkutan bisa, selama ini enggak ada masalah kok kenapa terkait pemilu kita bikin panja? Saya enggak tau, saya baru pertama kali jadi anggota DPR, apakah di periode setiap ada pemilu harus ada panja netralitas? Nah faktanya ada enggak?" ujar waketum Gerindra ini.
Habiburokhman menantang untuk membuktikan bukti hukum ketidaknetralan Pemilu 2024. Menurutnya, tidak bisa menuduh ada ketidaknetralan Polri hanya berdasarkan asumsi.
"Beri saya secuil saja bukti hukum kongkrit ketidaknetralan Polri di pemilu 2024 ini, beri saya, kalau kita bicara hukum kan kita bicara sesuatu yang ada dasar hukumnya, enggak bisa dengan asumsi lantas kita paksakan ya itu saya menegaskan apa yang disampaikan rekan saya pak Wihadi, kalau kita ingin Polri netral justru kita berangkat dengan asumsi bahwa Polri saat ini sudah netral," katanya.
Habiburokhman mencontohkan masalah pemasangan baliho yang dituduh dilakukan oleh anggota Polri. Menurutnya perlu dibuktikan tanpa asumsi saja.
"Nanti kalau ada masalah terjadi pelanggaran misalnya jelas-jelas, yang tadi dibilang pemasangan baliho dan sebagainya apakah kita orang hukum bisa bicara dengan asumsi? Bisa enggak gitu loh? Saya kadang-kadang bisa frustasi kalau dengan cara berpikir seperti itu, kecuali jelas ada bukti oke belum secara hukum, dibuktikan 'ini misalnya polda ini memerintahkan pesen baliho ke sini dan lain sebagainya' kalau enggak ada itu bagiamana kita menjudgemen polri tidak netral?" tegasnya.
Habiburokhman ingin persoalan ketidaknetralan ini didudukkan pada posisi yang proporsional. Jangan baru kali ini saja diusulkan Panja netralitas Polri di Pemilu.
"Bisa rusak pak negara kita semua dibikin panja, lah, gunanya komisi apa?" tutupnya.
Sementara, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan mengusulkan untuk dibentuk Panja Netralitas Polri. Seperti dilakukan Komisi I dengan membentuk Panja pengawasan netralitas TNI saat pemilu.
"Dari peristiwa-peristiwa ini, mengikuti apa yang disampaikan oleh Komisi I itu sudah terjadi di Komisi I, mereka membuat Panja Pengawasan Netralitas TNI. Saya kira Komisi III juga, kami mengusulkan saudara Ketua kita buat Panja Pengawasan Netralitas Polri ya," ujarnya.