REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Asosiasi Transporter mempertanyakan realisasi Jalur Khusus Tambang di Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Sebab, saat ini operasional truk bertonase besar atau kendaraan pengangkut tambang dinilai mengganggu aktivitas pengendara lain.
Ketua Asosiasi Transporter, Asep Fadhlan, menilai jalur khusus tambang ini sangat penting untuk direalisasikan. Sebab, jalur itu juga pastinya sangat memudahkan operasional kendaraan pengangkut tambang.
“Akan lebih memudahkan ke semua kalangan, tentu dengan adanya jalan khusus tambang pengendara lain tidak terganggu,” kata Fadhlan kepada Republika.
Namun, kata dia, realisasi jalur khusus tambang ini diperkirakan masih membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga ia meminta pemerintah daerah setempat untuk mengambil solusi yang konkret demi kepentingan bersama.
“Realisasinya kan masih lama. Sekarang itu ngambil solusi yang konkret, supaya tidak ada pihak yang dirugikan,” ujarnya.
Di samping itu, ia mengeluhkan tidak sinkronnya Peraturan Bupati (Perbup) Tangerang dan Perbup Bogor terkait pembatasan operasional truk tambang. Hal itu membuat pengusaha transporter merugi baik dari sisi ekonomi maupun sosial.
Fadhlan menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor terkesan hanya mengikuti peraturan atau kebijakan yang dibuat Pemkab Tangerang. Di mana dalam Perbup Tangerang 47/2018, kendaraan bertonase besar diperbolehkan melewati jalan di Kabupaten Tangerang pada pukul 22.00 WIB-05.00 WIB. Sedangkan pada Perbup Bogor 120/2021, waktu operasional kendaraan angkutan barang khusus tambang dimulai pukul 20.00 WIB-05.00 WIB.
“Ini merugikan dari segi sosial, ekonomi, dan letak geografis yg tidak memadai. Terkesan ada jarak dan konflik kepentingan antara Kabupaten Tangerang dan Bogor,” kata Fadhlan.
Ia mengatakan, hal itu membuat para pengusaha truk tambang maupun sopirnya merugi. Pasalnya, kendaraan khusus tambang yang berangkat dari Kabupaten Bogor pukul 20.00 WIB, belum bisa memasuki Tangerang sebelum pukul 22.00 WIB.
Hal itu pun menyebabkan kemacetan, yang membuat para sopir truk tidak bisa menyelesaikan satu ritase atau putaran dalam semalam. “(Biasanya satu hari) satu rit, itu pun kalau tidak macet. Makanya banyak yang gulung tikar, karena tidak bisa bayar angsuran mobil,” jelasnya.
Ia pun berharap ada kerja sama antara pemerintah daerah terkait untuk memperbaiki jalan secara rutin. Serta mencegah adanya praktik pungutan liar yang merugikan pada sopir truk tambang.
“Saya berharap tidak terjadi pungli yang dilakukan oleh oknum siapapun, biaya parkiran mobil yang berada di sepanjang Parung Panjang tidak terlalu mahal, perbaikan jalan yang ruksak secara rutin kerjasama antara pemerintah propinsi, muspika kecamatan, desa dan para perusahaan tambang,” ujarnya.