REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Program Pangan Dunia PBB (WFP) mengungkapkan, saat ini kelaparan telah meluas di Jalur Gaza. Sejak awal agresi Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, hanya sepuluh persen pasokan makanan yang berhasil masuk ke Gaza.
Kini, hampir seluruh penduduk di wilayah tersebut sangat membutuhkan bantuan pangan.
“Persediaan makanan dan air praktis tidak ada di Gaza, dan hanya sebagian kecil dari kebutuhan yang datang melalui perbatasan. Dengan semakin dekatnya musim dingin, tempat penampungan yang tidak aman dan penuh sesak, serta kurangnya air bersih, warga sipil menghadapi kemungkinan kelaparan,” kata Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA, Jumat (17/11/2023).
McCain menyoroti fakta bahwa hanya satu gerbang penyeberangan untuk masuk dan keluar Gaza saat ini, yakni Rafah di Mesir. Sementara beberapa gerbang penyeberangan lainnya di wilayah Israel ditutup. Menurut McCain, kondisi itu turut menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
“Tidak ada cara untuk memenuhi kebutuhan kelaparan saat ini, hanya dengan satu penyeberangan perbatasan yang beroperasi. Satu-satunya harapan adalah membuka jalur lain yang aman bagi akses kemanusiaan untuk membawa makanan penyelamat jiwa ke Gaza,” ujar McCain.
Meski gerbang penyeberangan Rafah beroperasi, WFP menilai, proses pengiriman bantuan dari perlintasan tersebut tak maksimal. Israel benar-benar membatasi konvoi bantuan yang diizinkan memasuki Gaza. Dari 1.129 truk yang memasuki Gaza sejak pembukaan perbatasan Rafah pada 21 Oktober 2023, hanya 447 truk yang membawa pasokan makanan.
“Meskipun WFP menyambut baik peningkatan jumlah truk yang menyeberang ke Gaza, sayangnya volume tersebut masih belum mencukupi, makanan yang masuk ke Gaza hanya cukup untuk memenuhi 7 persen dari kebutuhan kalori minimum harian masyarakat,” kata WFP.
Awal pekan ini, WFP mengkonfirmasi penutupan toko roti terakhir di Gaza yang bermitra dengan mereka. Toko tersebut tutup karena tak lagi memiliki stok bahan bakar untuk kebutuhan operasional. Sejak meluncurkan agresi pada 7 Oktober 2023 lalu, Israel memang belum mengizinkan adanya pengiriman bahan bakar ke Gaza.
Ketiadaan suplai bahan bakar telah memicu terhentinya produksi roti di 130 toko roti di Gaza. Roti yang kini menjadi makanan pokok masyarakat Gaza, langka atau bahkan tidak ada lagi.
Kekurangan bahan bakar juga melumpuhkan distribusi dan operasi kemanusiaan, termasuk pengiriman bantuan makanan. “Tanpa akses terhadap bahan bakar, kemampuan kami untuk menyediakan roti atau mengangkut makanan kepada mereka yang membutuhkan telah sangat terganggu, yang pada dasarnya membuat kehidupan di Gaza terhenti. Orang-orang akan kelaparan,” kata Direktur WFP di Palestina Samer Abdeljaber.
Awal pekan ini, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengungkapkan, saat ini seluruh penduduk Palestina di Jalur Gaza menderita kerawanan pangan. Hal itu disebabkan agresi tanpa jeda dan tanpa pandang bulu Israel ke wilayah yang telah diblokadenya selama 16 tahun terakhir tersebut.
“Pada titik ini, FAO menganggap seluruh penduduk sipil di Gaza berada dalam kondisi rawan pangan,” kata Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu dalam sebuah pernyataan, Senin (13/11/2023), dikutip Anadolu Agency.
Dia mengingatkan kembali, sebelum agresi terbaru Israel ke Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023 lalu, hampir 60 persen rumah tangga di wilayah tersebut sudah dianggap menghadapi rawan pangan atau rentan terhadap kerawanan pangan. “(FAO) berkomitmen penuh mengatasi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak bagi penduduk di Jalur Gaza,” ujar Dongyu.
Dongyu menambahkan, gencatan senjata segera adalah sebuah prasyarat untuk ketahanan pangan. “Hak atas pangan adalah hak asasi manusia yang mendasar,” katanya.
Agresi Israel ke Gaza yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 telah membunuh sedikitnya 11.630 warga Gaza. Mereka termasuk 4.710 anak-anak dan 3.165 perempuan. Sementara korban luka sudah mendekati 30 ribu orang.