REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) fokus melayani kebutuhan kontrasepsi (KB) yang belum terpenuhi atau unmet need, dengan menyasar 5,6 juta pasangan usia subur di Jawa Tengah.
"Orang itu kalau ditanya apakah akan hamil lagi, jawabnya tidak, terus ditanya pake KB enggak? Jawabnya juga tidak. Nah itulah yang namanya unmet need, tidak cocok antara kebutuhan KB dan kenyataannya," ujar Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Hasto menjelaskan, selain menyumbang lahirnya bayi stunting baru, unmet need juga meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi, dan berdasarkan data sistem informasi keluarga (siga) BKKBN, jumlah pasangan usia subur di Jawa Tengah per September 2023 sebanyak 5.657.665. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13,1 persen di antaranya mengalami unmet need.
"Kita sebagai tenaga kesehatan perlu mendekati pasangan usia subur ini, termasuk mendekati klinik melahirkan, rumah sakit, agar mereka memiliki Program Keluarga Berencana Rumah Sakit (PKBRS), sehingga siapa pun yang melahirkan bisa ditawarkan untuk menggunakan alat kontrasepsi, agar jarak kehamilan selanjutnya tidak terlalu dekat," tuturnya.
Hasto juga menegaskan, orang tua yang tidak siap memberikan asupan gizi optimal kepada anak, belum matang atau dewasa saat menikah, dan perekonomiannya belum stabil, menjadi penguat terjadinya stunting. "Karena stunting itu paling kuat disebabkan oleh 4T, yakni terlalu muda saat menikah dan melahirkan, terlalu tua saat melahirkan anak, terlalu banyak anak, dan terlalu dekat jarak kehamilan pertama dengan selanjutnya," kata dia.
Untuk menurunkan kejadian 4T tersebut, BKKBN melakukan berbagai program dan kolaborasi, salah satunya melalui sosialisasi KB pascapersalinan (KBPP) yang diselenggarakan secara berkelanjutan di seluruh kabupaten/kota. Sementara itu, Penyuluh KB Utama BKKBN Siti Fathonah menyatakan bahwa mayoritas penyebab terjadinya unmet need adalah pasangan usia subur yang sudah tidak menginginkan anak lagi, tetapi masih terpapar dengan mitos penggunaan alat kontrasepsi, juga kendala akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang menyediakan KB di daerah terpencil.
"Tantangan dan kendala pelaksanaan KBPP di antaranya, pemahaman regulasi tentang KBPP yang masih minim, masih banyak pula ibu hamil yang belum sepenuhnya didukung keluarga untuk melakukan KBPP, serta belum optimalnya sosialisasi dan pra-konseling di lapangan, kemudian pembaruan data pada sistem informasi keluarga juga belum optimal," ucap Siti.
Dengan kondisi tersebut, Siti memberikan alternatif strategi penanganan dengan memaksimalkan akses pelayanan KB yang berkualitas, melakukan komunikasi dan konseling yang efektif, serta fokus tidak hanya pada perempuan (istri), tetapi juga laki-laki (suami).
"Kolaborasi dengan bentuk pelayanan lain yang fokus pada ibu dan anak juga sangat dibutuhkan," tuturnya.
Apabila KBPP tercapai dengan maksimal, menurut dia, akan berimbas pada menurunnya angka stunting, angka kematian ibu dan bayi, bahkan juga menurunkan kemiskinan ekstrem.